Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Muhammad Assaqof Gresik

Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Muhammad Assaqof Gresik

Silsilah beliau adalah : Habib Abubakar bin Muhammad bin Umar bin Abubakar bin Imam Wadi Al-Ahqaf Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Toha bin Umar Ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawiliyah bin Ali bin Alwi Al-Ghuyyur bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Sahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa bin Muhammad An-Naqib bin Ali-‘Uraidhi bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.

Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Muhammad Assegaf lahir di kota Besuki, Jawa Timur, pada tahun 1285 H. Semenjak kecil beliau sudah ditinggal oleh ayahnya yang wafat di kota Gresik. Pada tahun 1293 H, Habib Abubakar kemudian berangkat ke Hadramaut karena memenuhi permintaan nenek beliau, Syaikhah Fatimah binti Abdullah ‘Allan.

Beliau berangkat kesana ditemani dengan Al-Mukarram Muhammad Bazmul. Sesampainya disana, beliau disambut oleh paman, sekaligus juga gurunya, yaitu Abdullah bin Umar Assegaf, beserta keluarganya. Kemudian beliau tinggal di kediaman Al-Arif Billah Al-Habib Syeikh bin Umar bin Saggaf Assegaf.

Di kota Seiwun beliau belajar ilmu figih dan tasawuf kepada pamannya Al-Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Hiduplah beliau dibawah bimbingan gurunya itu. Bahkan beliau dibiasakan oleh gurunya untuk bangun malam dan shalat tahajud meskipun usia beliau masih kecil. Selain berguru kepada pamannya, beliau juga mengambil ilmu dari para ulama besar yang ada disana. Diantara guru-guru beliau disana antara lain :

Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhammad Alhabsyi

Al-Habib Muhammad bin Ali Assegaf

Al-Habib Idrus bin Umar Alhabsyi

Al-Habib Ahmad bin Hasan Alatas

Al-Habib Al-Imam Abdurrahman bin Muhammad Almasyhur (Mufti Hadramaut saat itu).

Al-Habib Syeikh bin Idrus Alaydrus

Al-Habib Al-Qutub Ali bin Muhamad Alhabsyi sungguh telah melihat tanda-tanda kebesaran dalam diri Habib Abubakar dan akan menjadi seorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi. Al-Habib Ali Alhabsyi berkata kepada seorang muridnya, “Lihatlah mereka itu, 3 wali min auliyaillah, nama mereka sama, keadaan mereka sama, dan kedudukan mereka sama. Yang pertama, sudah berada di alam barzakh, yaitu Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Abdullah Alaydrus. Yang kedua, engkau sudah pernah melihatnya pada saat engkau masih kecil, yaitu Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Abdullah Alatas. Dan yang ketiga, engkau akan melihatnya di akhir umurmu”.

Ketika usia murid tersebut sudah menginjak usia senja, ia bermimpi melihat Nabi SAW 5 kali dalam waktu 5 malam berturut-turut. Dalam mimpinya itu, Nabi SAW berkata kepadanya, “(terdapat kebenaran) bagi yang melihatku di setiap kali melihat. Kami telah hadapkan kepadamu cucu yang sholeh, yaitu Abubakar bin Muhammad Assegaf. Perhatikanlah ia”.

Murid tersebut sebelumnya belum pernah melihat Habib Abubakar, kecuali di mimpinya itu. Setelah itu ingatlah ia dengan perkataan gurunya, Al-Habib Ali Alhabsyi, “Lihatlah mereka itu, 3 wali min auliyaillah…”. Tidak lama setelah kejadian mimpinya itu, ia pun meninggal dunia, persis sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Habib Ali bahwa ia akan melihat Habib Abubakar di akhir umurnya.

Setelah menuntut ilmu disana, pada tahun 1302 H beliau pun akhirnya kembali ke pulau Jawa bersama Habib Alwi bin Saggaf Assegaf, dan menuju kota Besuki. Disinilah beliau mulai mensyiarkan dakwah Islamiyyah di kalangan masyarakat. Kemudian pada tahun 1305 H, disaat usia beliau masih 20 tahun, beliau pindah menuju kota Gresik.

Di pulau Jawa, beliaupun masih aktif mengambil ilmu dan manfaat dari ulama-ulama yang ada disana saat itu, diantaranya yaitu :

Al-Habib Abdullah bin Muhsin Alatas (Bogor)

Al-Habib Abdullah bin Ali Alhaddad (wafat di Jombang)

Al-Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Alatas (Pekalongan)

Al-Habib Al-Qutub Abubakar bin Umar Bin Yahya (Surabaya)

Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi (Surabaya)

Al-Habib Muhammad bin Ahmad Almuhdhor (wafat di Surabaya)

Pada suatu hari disaat menunaikan shalat Jum’at, datanglah ilhaamat rabbaniyyah kepada diri beliau untuk ber- uzlah dan mengasingkan diri dari keramaian duniawi dan godaannya, menghadap kebesaran Ilahiah, ber-tawajjuh kepada Sang Pencipta Alam, dan menyebut keagungan nama-Nya di dalam keheningan. Hal tersebut beliau lakukan dengan penuh kesabaran dan ketabahan.

Waktu pun berjalan demi waktu, sehingga tak terasa sudah sampai 15 tahun lamanya. Beliau pun akhirnya mendapatkan ijin untuk keluar dari uzlahnya, melalui isyarat dari guru beliau, yaitu Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi. Berkata Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi, “Kami memohon dan ber-tawajjuh kepada Allah selama 3 malam berturut-turut untuk mengeluarkan Abubakar bin Muhammad Assegaf dari uzlahnya”. Setelah keluar dari uzlahnya, beliau ditemani dengan Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi berziarah kepada Al-Imam Al-Habib Alwi bin Muhammad Hasyim Assegaf.

Sehabis ziarah, beliau dengan gurunya itu langsung menuju ke kota Surabaya dan singgah di kediaman Al-Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Masyarakat Surabaya pun berbondong-bondong menyambut kedatangan beliau di rumah tersebut. Tak lama kemudian, Al-Habib Muhammad bin Idrus Alhabsyi berkata kepada khalayak yang ada disana seraya menunjuk kepada Habib Abubakar, “Beliau adalah suatu khazanah daripada khazanah keluarga Ba’alawi. Kami membukakannya untuk kemanfaatan manusia, baik yang khusus maupun yang umum”.

Semenjak itu Habib Abubakar mulai membuka majlis taklim dan dzikir di kediamannya di kota Gresik. Masyarakat pun menyambut dakwah beliau dengan begitu antusias. Dakwah beliau tersebar luas…dakwah yang penuh ilmu dan ikhlas, semata-mata mencari ridhallah. Dalam majlisnya, beliau setidaknya telah mengkhatamkan kitab Ihya Ulumiddin sebanyak 40 kali. Dan merupakan kebiasaan beliau, setiap kali dikhatamkannya pembacaan kitab tersebut, beliau mengundang jamuan kepada masyarakat luas.

Beliau adalah seorang yang ghirahnya begitu tinggi dalam mengikuti jalan, atribut dan akhlak keluarga dan Salafnya Sadah Bani Alawi. Majlis beliau senantiasa penuh dengan mudzakarah dan irsyad menuju jalan para pendahulunya. Majlis beliau tak pernah kosong dari pembacaan kitab-kitab mereka. Inilah perhatian beliau untuk tetap menjaga thoriqah salafnya dan berusaha berjalan diatas… qadaman ala qadamin bi jiddin auza’i.

Itulah yang beliau lakukan semasa hayatnya, mengajak manusia kepada kebesaran Ilahi. Waktu demi waktu berganti, sampai kepada suatu waktu dimana Allah memanggilnya. Disaat terakhir dari akhir hayatnya, beliau melakukan puasa selama 15 hari, dan setelah itu beliau pun menghadap ke haribaan Ilahi. Beliau wafat pada tahun 1376 H pada usia 91 tahun. Jasad beliau disemayamkan di sebelah masjid Jami, Gresik.

Walaupun beliau sudah berpulang ke rahmatillah, kalam-kalam beliau masih terdengar dan membekas di hati para pendengarnya. Akhlak-akhlak beliau masih menggoreskan kesan mendalam di mata orang-orang yang melihatnya. Hal-ihwal beliau masih mengukir keindahan iman di kehidupan para pecintanya.

Biografi KH. Abdullah Faqih Langitan

Pondok Pesantren Langitan itu berada di bawah jembatan jalan raya Babat Lamongan jurusan Tuban, Jawa Timur. Tepatnya di Desa Widang. Sepintas, dari jalan raya memang tidak tampak pesantren, karena tertutup perkampungan. Tapi begitu masuk, terasalah denyut kehidupan pesantren yang berada di atas areal sekitar 6 hektar itu.

Meskipun termasuk pesantren salaf [1], kebersihan lingkungannya tampak sangat terjaga. Apalagi, beberapa pohon mangga dan jambu dibiarkan tumbuh subur, hingga memberi rasa teduh. Agak masuk ke dalam, ada sebuah rumah kecil terbuat dari kayu berwarna janur kuning, sederet dengan asrama santri dan rumah pengasuh lain. Di situlah KH Abdullah Faqih (67), tokoh yang sangat disegani di kalangan NU, tinggal.

Di belakang rumah itu memang ada bangunan berlantai dua. Tapi, menurut keterangan salah seorang santrinya, gedung itu untuk tinggal putri-putrinya. “Kiai sendiri tetap tinggal di di rumah kayu itu,” kata santri yang tak mau disebut namanya.

Berukuran sekitar 7×3 meter, di dalamnya ada seperangkat meja kursi kuno dan dua almari berisi kitab-kitab. Lantainya dilambari karpet. Ada juga kaligrafi dan dua jam dinding. Itu saja. Dan di situ pula Kiai Faqih —panggilan akrabnya— menerima tamu-tamunya. Baik dari kalangan bawah, pengurus NU, maupun pejabat. Menteri Agama Tolchah Hasan, awal Desember lalu, adalah salah satu di antara pejabat yang pernah sowan ke kiai yang sangat berpengaruh di kalangan NU ini. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU yang baru, juga termasuk tokoh yang rajin sowan ke Kiai Faqih.

Nama Kiai Faqih mencuat menjelang SU MPR lalu, terutama berkaitan dengan pencalonan KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Saat itu di tubuh kaum Nahdliyin terjadi perbedaan, ada yang mendukung pencalonan Gus Dur —demikian mantan ketua PBNU itu populer dipanggil— yang dipelopori kelompok Poros Tengah, dan ada yang bersikap sebaliknya. Sementara dua kandidat utama yakni BJ Habibie dan Megawati sama-sama mengandung risiko cukup tinggi, terutama para pendukung fanatiknya. Menghadapi situasi seperti itu, beberapa kiai sepuh NU mengadakan beberapa pertemuan di Pondok Pesantren Langitan. Dari sinilah kemudian muncul istilah `Poros Langitan’, karena memang suara para kiai itu sangat berpengaruh kepada pencalonan Gus Dur.

Toh beberapa hari menjelang pemilihan presiden, restu para kiai itu belum turun juga. Hingga akhirnya dua hari menjelang pemilihan presiden, Hasyim Muzadi (sekarang ketua PBNU) datang menemui Gus Dur, membawa pesan Kiai Faqih. Pesannya adalah pertama, kalau memang Gus Dur maju, ulama akan mendo’akan. Kedua, Gus Dur harus menjaga keutuhan di tubuh PKB yang saat itu sudah mulai retak. Dan ketiga, menjaga hubungan baik warga NU dengan warga PDI-Perjuangan.

Begitu gembira mendengar restu itu, Gus Dur berdiri memeluk Hasyim Muzadi sembari meneteskan air mata. Dengan isak tangis cucu pendiri NU KH Hasyim Asy’ari ini berkata, “Sampaikan salam hormat saya kepada Kiai (Faqih). Katakan, Abdurrahman sampai kapanpun tetap seorang santri yang patuh kepada ucapan kiai.”

Siapa sesungguhnya Kiai Faqih, kok Gus Dur yang begitu dipuja orang-orang di NU itu begitu hormatnya? Publik selama ini tidak banyak tahu, karena Kiai yang mengasuh sekitar 3000 santri ini memang tidak suka publikasi. Banyak wartawan yang ingin wawancara dengan Kiai Faqih, semuanya pulang dengan tangan hampa. “Kami memang mendapat pesan, Kiai tidak bersedia menerima wartawan,” ujar salah seorang pengurus pesantren.

Di kalangan NU dikenal istilah kiai khos atau kiai utama. Ada syarat tertentu sebelum seorang kiai masuk kategori khos. Antara lain, mereka harus mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Dengan kata lain, mereka sudah memiliki kemampuan waskita. Nah, Kiai Faqih termasuk dalam kategori kiai waskita itu. Tentu saja organisasi sebesar NU punya banyak kiai khos. Tapi, Kiai Faqihlah yang kerap jadi rujukan utama di kalangan Nahdliyin, baik itu PBNU maupun PKB, terutama menyangkut kepentingan publik. Hal itu dibenarkan Effendy Choirie, salah satu petinggi DPP PKB. “Rasanya memang begitu,” ujarnya.

Di mata Gus Dur sendiri, Kiai Faqih adalah seorang wali. “Namun, kewalian beliau bukan lewat thariqat atau tasawuf, justru karena kedalaman ilmu fiqhnya,” kata Gus Dur yang kini jadi Presiden, sebagaimana ditirukan Choirie. Kedekatan Gus Dur dengan Kiai Faqih, kabarnya mulai Muktamar NU di Cipayung dulu. Contoh begitu hormatnya ketua Forum Demokrasi (Fordem) itu kepada Kiai Faqih, adalah ketika ia meminta Gus Dur mencium tangan KH Yusuf Hasyim, pamannya, pada acara tasyakuran atas membaiknya kesehatan mata Gus Dur, satu bulan sebelum SU MPR. Tanpa banyak cakap, putra KH Wakhid Hasyim ini manut saja. Maka rujuklah dua bangsawan Bani Hasyim yang sudah bertahun-tahun `bermusuhan’.

Kiai Faqih lahir di Dusun Mandungan Desa Widang, Tuban. Saat kecil ia lebih banyak belajar kepada ayahandanya sendiri, KH Rofi’i Zahid, di Pesantren Langitan. Ketika besar ia nyantri pada Mbah Abdur Rochim di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tapi tidak lama.

Sebagaimana para kiai tempo dulu, Faqih juga pernah tinggal di Makkah, Arab Saudi. Di sana ia belajar kepada Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, ayahnya Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Rupanya selama di Arab Saudi Faqih punya hubungan khusus dengan Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Buktinya, setiap kali tokoh yang amat dihormati kalangan kiai di NU itu berkunjung ke Indonesia, selalu mampir ke Pesantren Langitan. “Sudah 5 kali Sayid Muhammad ke sini,” tambah salah seorang pengurus Langitan.

Pesantren Langitan memang termasuk pesantren tua di Jawa Timur. Didirikan l852 oleh KH Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang, Langitan dikenal sebagai pesantren ilmu alat. Para generasi pertama NU pernah belajar di pesantren yang terletak di tepi Bengawan Solo yang melintasi Desa Widang (dekat Babat Lamongan) ini. Antara lain KH Muhammad Cholil (Bangkalan), KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Syamsul Arifin (ayahnya KH As’ad Syamsul Arifin), dan KH Shiddiq (ayahnya KH Ahmad Shiddiq).

Kiai Faqih (generasi kelima) memimpin Pesantren Langitan sejak l971, menggantikan KH Abdul Hadi Zahid yang meninggal dunia karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi KH Ahmad Marzuki Zahid, yang juga pamannya.

Di mata para santrinya, Kiai Faqih adalah tokoh yang sederhana, istiqomah dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam shalat lima waktu misalnya, ia selalu memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan. “Tak jarang beliau mencincingkan sarungnya, membersihkan sendiri daun jambu di halaman,” tutur Choirie yang pernah menjadi santri Langitan selama 7 tahun.

Meski tetap mempertahankan ke-salaf-annya, pada era Kiai Faqih inilah Pesantren Langitan lebih terbuka. Misalnya, ia mendirikan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Dalam hal penggalian dana, ia membentuk Badan Usaha Milik Pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel.

Lebih dari itu lagi, ayah 12 orang anak buah perkawinannya dengan Hj Hunainah ini juga mengarahkan pesantrennya agar lebih dekat dengan masyarakat. Di antaranya ia mengirim da’i ke daerah-daerah sulit di Jawa Timur dan luar Jawa. Setiap Jum’at ia juga menginstruksikan para santrinya shalat Jum’at di kampung-kampung. Lalu membuka pengajian umum di pesantren yang diikuti masyarakat luas.

Dalam hubungan dengan pemerintah Orde Baru, Kiai Faqih sangat hati-hati. Meski tetap menjaga hubungan baik, ia tidak mau terlalu dekat dengan penguasa, apalagi menengadahkan tangan minta bantuan, sekalipun untuk kepentingan pesantrennya. Bahkan, tak jarang, ia menolak bantuan pejabat atau siapapun, bila ia melihat di balik bantuan itu ada `maunya’. Mungkin, karena inilah perkembangan pembangunan fisik Langitan termasuk biasa-biasa saja. Moeslimin Nasoetion, saat menjabat Menteri Kehutanan dan Perkebunan dan berkunjung ke Langitan pernah berucap, “Saya heran melihat sosok Kiai Abdullah Faqih. Kenapa tidak mau membangun rumah dan pondoknya? Padahal, jika mau, tidak sedikit yang mau memberikan sumbangan.”

Tetapi bila terpaksa menerima, ini masih kata Effendy Choirie, bantuan itu akan dimanfaatkan fasilitas umum di mana masyarakat juga turut menikmatinya. Kiai Faqih, kata Choirie, juga tak pernah mengundang para pejabat bila pesantrennya atau dirinya punya hajat. “Tetapi kalau didatangi, beliau akan menerima dengan tangan terbuka,” tambah Choirie yang pernah menggeluti profesi wartawan ini.

Di mata anggota DPR ini, Kiai Faqih adalah sosok yang berpikir jernih dan sangat hati-hati dalam setiap hendak melangkah atau mengambil keputusan. Pernah pada suatu kesempatan, Gus Dur ingin sowan (menghadap) ke Langitan. Demi menghindari munculnya spekulasi yang macam-macam, apalagi saat itu menjelang pemilihan presiden, Kiai Faqih menolak. Justru dialah yang menemui Gus Dur di Jombang, saat Gus Dur berziarah ke makam kakeknya.

sumber : http://www.hidayatullah.com

Biografi KH. Hamim Tohari Jazuli (Gus Miek)

KH Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940,beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri),Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur.

Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.
ayah gus mik KH.Achmad djazuli Usman
KH.ACHMAD DJAZULI USMAN
Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan ,beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.
gus miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyelenehbeliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti discotiq ,club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di jawa timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesianya pemikiran jalan pintas.
Pernah di ceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke discotiq dan disana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek.” Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama ? lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan ,Gus miek angkat bicara “sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..? lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.
jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak beruntung di akherat kelak.
Ketika beliau berda’wak di semarang tepatnya di NIAC di pelabuhan tanjung mas.Niac adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan ,Gus Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. Niac pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan
Satu contoh lagi ketika Gus miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu gus miek langsung menuju watries (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itupun mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.
Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada”jawab Gus miek.
Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis “jawab Gus miek
Adanya sistem Da’wak yang dilakukan Gus miek tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak sanggup melakukan da’wak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyalloh.
Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini beliau rindukan.
sumber:
http://alhidayahkroya.blogspot.com

Habib Abdurrahman Assegaf

Habib Abdurrahman Assegaf adalah salah seorang tokoh para wali dan ulama dari Ahlil Bait Al-Ba’alawi yang kembali kepadanya sebahagian nasab keluarga Ba’alawi di Hadramaut. Beliau dilahirkan di Tarim pada tahun 739H. Nama sebenarnya ialah Habib Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali bin Alwi bin Al-Faqih Al-Muqoddam. Dijuluki Assegaf karena ilmunya mengugguli ulama dan auliya di zamannya. Beliau adalah kakek dari Alaydrus, bin Syihabuddin, bin Syeikh Abubakar, Alatas, Al-Hadi, Ba-Aqil, Al-Baiti dan lain-lain. Sebahagian dari karamah beliau diriwayatkan bahawasanya hampir setiap tahunnya banyak orang melihat beliau sedang hadir di tempat-tempat penting di Makkah. Ketika ditanyakan oleh sebahagian murid beliau: “Apakah anda pernah berhaji?” Jawab beliau: “Jika secara zahir tidak pernah”.Diriwayatkan oleh salah seorang murid beliau yang bernama Muhammad bin Hassan Jamalullail: “Pada suatu hari aku pernah di masjid Sayid Abdurrahman As-Seggaf. Waktu itu aku merasa lapar sekali, tapi aku malu untuk mengadukan pada beliau tentang keadaanku. Rupanya beliau tahu akan keadaanku yang sebenarnya. Beliau memanggilku ke atas loteng masjid. Anehnya kudapatkan di hadapan beliau sudah terhidang makanan yang lazat. Waktu kutanya dari manakah mendapatkan makanan itu?” Beliau hanya menjawab: “Hidangan ini kudapati dari seorang wanita”. Padahal kutahu tidak seorangpun yang masuk dalam masjid”. Seorang murid beliau yang bernama Syeikh Abdurrahim bin Ali Khatib berkata: “Pada suatu waktu sepulangnya kami dari berziarah ke makam Nabi Hud a.s. bersama Sayid Abdurrahman, beliau berkata: “Kami tidak akan solat Maghrib kecuali di Fartir Rabi'”. Kami sangat hairan sekali dengan ucapan beliau. Padahal waktu itu matahari hampir saja terbenam sedangkan jarak yang harus kami tempuh sangat jauh. Beliau tetap saja menyuruh kami berjalan sambil berzikir kepada Allah. Tepat waktu kami tiba di Fartir Rabi’ matahari muali terbenam. Sehingga kami yakin bahawa dengan kekaramahan beliau sampai matahari tertahan untuk condong sebelum beliau sampai di tempat yang ditujunya. Kata sebahagian murid beliau: “Kejadian itu sama seperti yang pernah terjadi pada diri Syeikh Ismail Al-Hadrami”. Diriwayatkan pula bahawasanya pada suatu hari beliau sedang duduk di depan murid-murid beliau. Tiba-tiba beliau melihat petir. Beliau berkata pada mereka: “Bubarlah kamu sebentar lagi akan terjadi banjir di lembah ini”. Apa yang diucapkan oleh beliauitu terjadi seperti yang dikatakan. Waktu Sayid Abdurrahman As-Seggaf mengunjungi salah seorang isterinya yang berada di suatu desa, beliau mengatakan pada isterinya yang sedang hamil: “Engkau akan melahirkan seorang anak lelaki pada hari demikian dan akan mati tepat pada hari demikian dan demikian, kelak bungkuskan mayatnya dengan kafan ini”. Kemudian beliau memberikan sepotong kain. Dengan izin Allah isterinya melahirkan puteranya tepat pada hari yang telah ditentukan dan tidak lama bayi yang baru dilahirkan itu meninggal tepat pada hari yang diucapkan oleh beliau sebelumnya. Diriwayatkan pula ada sebuah perahu yang penuh dengan penumpang dan barang tiba-tiba bocor saja tenggelam. Semua penumpang yang ada dalam perahu itu panik. Sebahagian ada yang beristighatsah (minta tolong) pada sebahagian wali yang diyakininya dengan menyebut namanya. Sebahagian yang lain ada yang beristighatsah dngan menyebut nama Sayid Abdurrahma As-Seggaf. Orang yang menyebutkan nama Sayid Abdurrahman As-Seggaf itu bermimpi melihat beliau sedang menutupi lubang perahu yang hampir tenggelam itu dengan kakinya, hingga selamat. Cerita itu didengar oleh orang yang kebetulan tidak percaya pada Sayid Abdurraman As-Seggaf. Selang beberapa waktu setelah kejadian di atas orang yang tidak percaya dengan Sayid Abdurrahman itu tersesat dalam suatu perjalanannya selama tiga hari. Semua persediaan makan dan minumnya habis. Hampir ia putus asa. Untunglah ia masih ingat pada cerita istighatsah dengan Sayid Abdurrahman As-Seggaf yang pernah didengarnya beberapa waktu yang lalu. Kemudian ia beristighatsah dengan menyebutkan nama beliau. Dan ia bernazar jika memang diselamatkan oleh Allah dalam perjalanan ini ia akan patuh dengan Sayid Abdurrahman As-Seggaf. Belum selesaimenyebut nama beliau tiba-tiba datanglah seorang lelaki yang memberinya buah kurma dan air. Kemudian ia ditunjukkan jalan keluar sampai terhindar dari bahaya. Pernah diriwayatkan bahawa salah seorang pelayan Sayid Abdurrahman As-Seggaf ketika di tengah perjalanan kenderaannya dan perbekalannya dirampas oleh seorang dari keluarga Al-Katsiri. Pelayan yang merasa takut itu segera beristighatsah menyebut nama Sayid Abdurrahman untuk minta tolong dengan suara keras. Ketika orang yang merampas kenderaan dan perbekalan sang pelayan tersebut akan menjamah kenderaan dan barang perbekalannya tiba-tiba tangannya kaku tidak dapat digerakkan sedikitpun. Melihat keadaan yang kritikal itu si perampas berkata pada pelayan yang dirampas kenderaan dan perbekalannya: “Aku berjanji akan mengembalikan barangmu ini jika kamu beristighatsah sekali lagi kepada syeikhmu yang kamu sebutkan namanya tadi. Si pelayan segera beristighatsah mohon agar tangan orang itu sembuh seperti semula. Dengan izin Allah tangan si perampas itu segera sembuh dan barangnya yang dirampas segera dikembalikan kepada si pelayan. Waktu pelayan itu bertemu dengan Sayid Abdurrahman As-Seggaf, beliau berkata: “Jika beristighatsah tidak perlu bersuara keras, kerana kami juga mendengar suara perlahan”. Sebenarnya karamah beliau sangat banyak sehingga sukar untuk disebutkan semua. Beliau wafat di kota Tarim pada tahun 819H dan dimakamkan di perkuburan Zanbal. Makam beliau banyak dikunjungi orang. Dipetik dari: -Kemuliaan Para Wali karya Zulkifli Mat Isa, terbitan Perniagaan Jahabersa – http://alawiyyin.bravepages.com/in-bio.htm

Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki

As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki adalah salah seorang ulama Islam yang utama pada dasawarsa ini tanpa diragukan lagi, ulama yang paling dihormati dan dicintai di kota suci Makkah.

Beliau merupakan keturunan Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, penghulu Ahlil Bait, Imam Hadis di zaman kita, pemimpin keempat-empat mazhab, ketua rohani yang paling berkaliber, pendakwah ke jalan Allah, seorang yang tidak goyah dengan pegangannya di dunia ilmiah Islam turath.

Menzirahi beliau merupakan suatu keharusan kepada para ulama yang menziarahi Makkah.

Keluarga Keturunan Sayyid merupakan keturunan mulia yang bersambung secara langsung dengan Junjungan kita Muhammad Sallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri. Beliau merupakan waris keluarga Al-Maliki Al-Hasani di Makkah yang masyhur yang merupakan keturunan Rasulullah Sallahu ‘Alaihi Wasallam, melalui cucu Baginda, Imam Al-Hasan bin Ali, Radhiyallahu ‘Anhum.

Keluarga Maliki merupakan salah satu keluarga yang paling dihormati di Makkah dan telah melahirkan alim ulama besar di Makkah, yang telah mengajar di Makkah sejak lama.

Lima orang dari keturunan Sayyid Muhammad, telah menjadi Imam Mazhab Maliki di Haram Makkah. Datuk beliau, Al-Sayyid Abbas Al-Maliki, merupakan Mufti dan Qadhi Makkah dan khatib di Masjidil Haram. Beliau memegang jawatan ini ketika pemerintahan Uthmaniah serta Hashimiah, dan seterusnya terus memegang jawatan tersebut setelah Kerajaan Saudi diasaskan. Raja Abdul Aziz bin Sa’ud sangat menghormati beliau. Riwayat Hidup beliau boleh dirujuk pada kitab Nur An-Nibras fi Asanid Al-Jadd As-Sayyid Abbas oleh cucunya As-Sayyid Muhammad Al-Maliki.

Bapak beliau pula, As-Sayyid Alawi Al-Maliki merupakan salah seorang ulama Makkah Termasyhur di abad yang lalu. Beliau telah mengajar perbagai ilmu Islam turath di Masjidil Haram selama hampir 40 tahun. Ratusan murid dari seluruh pelusok dunia telah mengambil faedah daripada beliau dari kuliah beliau di Masjidil Haram, dan banyak di kalangan mereka telah memegang jawatan penting agama di negara masing-masing.

Malah, Raja Faisal tidak akan membuat apa-apa keputusan berkaitan Makkah melainkan setelah meminta nasihat daripada As-Sayyid Alawi. Beliau telah meninggal dunia pada tahun 1971 dan upacara pengebumiannya merupakan yang terbesar di Makkah sejak seratus tahun. Dalam tempoh 3 hari dari kematian beliau, Stesyen Radio Saudi tempatan hanya menyiarkan bacaan Al-Quran, sesuatu yang tidak pernah dilakukan kecuali hanya untuk beliau.

Maklumat lanjut tentang As-Sayyid Alawi boleh dirujuk kepada biografinya berjudul Safahat Musyriqah min Hayat Al-Imam As-Sayyid As-Syarif Alawi bin Abbas Al-Maliki oleh anaknya, yang juga merupakan adik kepada As-Sayyid Muhammad, As-Sayyid Abbas Al-Maliki, juga seorang ulama, tetapi lebih dikenali dengan suara merdunya dan pembaca Qasidah yang paling utama di Arab Saudi. Biografi ini mengandungi tulisan berkenaan As-Sayyid Alawi dari ulama dari seluruh dunia Islam.

Keluarga Maliki juga telah melahirkan banyak lagi ulama lain, tetapi penulis hanya menyebut bapa dan datuk kepada As-Sayyid Muhammad. Untuk maklumat lanjut, rujuk tulisan-tulisan berkaitan sejarah Makkah dan ulamanya di abad-abad mutakhir.

Kelahiran dan Pendidikan Awal

As-Sayyid Muhammad Al-Hasani bin Alawi bin Abbas bin Abdul Aziz, dilahirkan pada tahun 1946, di kota suci Makkah, dalam keluarga Al-Maliki Al-Hasani yang terkenal, keluarga Sayyid yang melahirkan ulama tradisi. Beliau amat beruntung kerana memiliki bapa seperti As-Sayyid Alawi, seorang ulama paling berilmu di Makkah. Bapa beliau merupakan guru pertama dan utama beliau, mengajar beliau secara peribadi di rumah dan juga di Masjidil Haram, di mana beliau menghafal Al-Quran sejak kecil. Beliau belajar dengan bapa beliau dan diizinkan untuk mengajar setiap kitab yang diajarkan oleh bapa beliau kepada beliau.

Pendidikan Lanjut

Dengan arahan bapanya, beliau juga turut mempelajari dan mendalami pelbagai ilmu turath Islam: Aqidah, Tafsir, Hadith, Feqh, Usul, Mustalah, Nahw dan lain-lain, di tangan ulamak-ulamak besar lain di Makkah serta Madinah. Kesemua mereka telah memberikan ijazah penuh kepada beliau untuk mengajar ilmu-ilmu ini kepada orang lain.

Ketika berumur 15 tahun lagi, As-Sayyid Muhammad telah mengajar kitab-kitab Hadith dan Feqh di Masjidil Haram, kepada pelajar-pelajar lain, dengan arahan guru-gurunya. Setelah mempelajari ilmu turath di tanah kelahirannya Makkah, beliau dihantar oleh bapanya untuk menuntut di Universiti Al-Azhar As-Syarif. Beliau menerima ijazah PhD daripada Al-Azhar ketika berusia 25 tahun, menjadikan beliau warga Arab Saudi yang pertama dan termuda menerima ijazah PhD dari Al-Azhar. Tesis beliau berkenaan Hadith telah dianggap cemerlang dan menerima pujian yang tinggi dari alim ulamak unggul di Al-Azhar ketika itu, seperti Imam Abu Zahrah.

Perjalanan Mencari Ilmu

Perjalanan menuntut ilmu merupakan jalan kebanyakan ulamak. As-Sayid Muhammad turut tidak ketinggalan. Beliau bermusafir sejak usia muda untuk menuntut ilmu dari mereka yang memiliki ilmu. Beliau telah bermusafir dengan banyak ke Afrika Utara, Mesir, Syria, Turki, dan rantau Indo-Pak untuk belajar dari alim-ulama yang hebat, bertemu para Wali Allah, menziarahi masjid-masjid dan maqam-maqam, serta mengumpul manuskrip-manuskrip dan kitab.

Di setiap tempat ini, beliau menemui para ulamak dan auliyak yang agung, dan mengambil faedah daripada mereka. Mereka juga turut tertarik dengan pelajar muda dari Makkah ini dan memberi perhatian istimewa untuk beliau. Kebanyakan mereka telah pun sangat menghormati bapa beliau yang alim, dan merupakan satu kebanggaan memiliki anak beliau sebagai murid.

Ijazah-ijazah

Sistem pengajian tradisi atau turath berasaskan kepada ijazah atau ‘keizinan untuk menyampaikan ilmu’. Bukan semua orang boleh mengajar. Hanya mereka yang memiliki ijazah yang diktiraf dari alim-ulamak yang terkenal sahaja yang boleh mengajar. Setiap cabang pengetahuan dan setiap kitab Hadith, Feqh, Tafsir dan lain-lain, mempunyai Sanad-sanad, atau rantaian riwayat yang bersambung sehingga kepada penyusun kitab tersebut sendiri melalui anak-anak muridnya dan seterusnya anak-anak murid mereka. Banyak sanad-sanad yang penting, seperti sanad Al-Qur’an, Hadith dan Tasawwuf, bersambung sehingga kepada Rasulullah Sallahu Alaihi Wasallam.

Sayyid Muhammad mendapat penghormatan dengan menjadi Shaykh dengan bilangan ijazah terbanyak dalam waktunya. Beliau juga memiliki rantaian sanad terpendek atau terdekat dengan datuknya, Nabi Muhammad Sallahu Alaihi Wasallam.

Di Tanah Arab, tanah kelahirannya, dan dalam permusafiran ilmunya, As-Sayyid Muhammad mendapat lebih dari 200 ijazah dari alim-ulamak teragung di zamannya, di setiap cabang ilmu Islam. Ijazah beliau sendiri, yang beliau berikan kepada murid-muridnya adalah antara yang paling berharga dan jarang di dunia, menghubungkan anak-anak muridnya dengan sejumlah besar para ulamak agung.

Para Masyaikh yang memberikan As-Sayyid Muhammad ijazah-ijazah mereka merupakan ulamak besar dari seluruh dunia Islam. Kita menyebutkan sebahagian mereka:

Dari Makkah:

1) Bapa beliau yang alim dan guru beliau yang pertama, As-Sayyid Alawi bin Abbas al-Maliki
2) Shaykh Muhammad Yahya Aman al-Makki
3) Shaykh al-Sayyid Muhammad al-Arabi al-Tabbani
4) Shaykh Hasan Sa‘id al-Yamani
5) Shaykh Hasan bin Muhammad al-Mashshat
6) Shaykh Muhammad Nur Sayf
7) Shaykh Muhammad Yasin al-Fadani
8) Al-Sayyid Muhammad Amin Kutbi
9) Al-Sayyid Ishaq bin Hashim ‘Azuz
10) Habib Hasan bin Muhammad Fad‘aq
11) Habib Abd-al-Qadir bin ‘Aydarus al-Bar
12) Shaykh Khalil Abd-al-Qadir Taybah
13) Shaykh Abd-Allah al-Lahji

Dari Madinah:

1) Shaykh Hasan al-Sha‘ir, Shaykh al-Qurra of Madinah
2) Shaykh Diya-al-Din Ahmad al-Qadiri
3) As-Sayyid Ahmad Yasin al-Khiyari
4) Shaykh Muhammad al-Mustafa al-Alawi al-Shinqiti
5) Shaykh Ibrahim al-Khatani al-Bukhari
6) Shaykh Abd-al-Ghafur al-Abbasi al-Naqshbandi

Dari Hadramawt dan Yaman:

1) Al-Habib Umar bin Ahmad bin Sumayt, Imam Besar Hadramawt
2) Shaykh As-Sayyid Muhammad Zabarah, Mufti Yaman
3) Shaykh As-Sayyid Ibrahim bin Aqeel al-Ba-Alawi, Mufti Ta‘iz
4) Al-Imam al-Sayyid Ali bin Abd-al-Rahman al-Habshi
5) Al-Habib Alawi ibn Abd-Allah bin Shihab
6) As-Sayyid Hasan bin Abd-al-Bari al-Ahdal
7) Shaykh Fadhl bin Muhammad Ba-Fadhal
8) Al-Habib Abd-Allah bin Alawi al-Attas
9) Al-Habib Muhammad bin Salim bin Hafeez
10) Al-Habib Ahmad Mashhur al-Haddad
11) Al-Habib Abd-al-Qadir al-Saqqaf

Dari Syria:

1) Shaykh Abu-al-Yasar ibn Abidin, Mufti Syria
2) Shaykh As-Sayyid al-Sharif Muhammad al-Makki al-Kattani, Mufti Maliki
3) Shaykh Muhammad As‘ad al-Abaji, Mufti Shafi‘i
4) Shaykh As-Sayyid Muhammad Salih al-Farfur
5) Shaykh Hasan Habannakah al-Maydani
6) Shaykh Abd-al-Aziz ‘Uyun al-Sud al-Himsi
7) Shaykh Muhammad Sa‘id al-Idlabi al-Rifa‘i

Dari Mesir:

1) Shaykh As-Sayyid Muhammad al-Hafiz al-Tijani, Imam Hadith di Mesir
2) Shaykh Hasanayn Muhammad Makhluf, Mufti Mesir
3) Shaykh Salih al-Ja‘fari, Imam Masjid Al-Azhar
4) Shaykh Amin Mahmud Khattab al-Subki
5) Shaykh Muhammad al-‘Aquri
6) Shaykh Hasan al-‘Adawi
7) Shaykh As-Sayyid Muhammad Abu-al-‘Uyun al-Khalwati
8) Shaykh Dr. Abd-al-Halim Mahmud, Syeihkul Azhar

Dari Afrika Utara (Maghribi, Algeria, Libya dan
Tunisia):

1) Shaykh As-Sayyid As-Sharif Abd-al-Kabir al-Saqali al-Mahi
2) Shaykh As-Sayyid Abd-Allah bin Al-Siddiq Al-Ghimari, Imam Hadith
3) Shaykh As-Sayyid Abd-al-Aziz bin Al-Siddiq al-Ghimari
4) As-Sharif Idris al-Sanusi, Raja Libya
5) Shaykh Muhammad At-Tahir ibn ‘Ashur, Imam Zaytunah, Tunis
6) Shaykh al-Tayyib Al-Muhaji al-Jaza’iri
7) Shaykh Al-Faruqi Al-Rahhali Al-Marrakashi
8) Shaykh As-Sayyid As-Sharif Muhammad al-Muntasir al-Kattani

Dari Sudan:

1) Shaykh Yusuf Hamad An-Nil
2) Shaykh Muddassir Ibrahim
3) Shaykh Ibrahim Abu-an-Nur
4) Shaykh At-Tayyib Abu-Qinayah

Dari Rantau Indo-Pak:

1) Shaykh Abu-al-Wafa al-Afghani Al-Hanafi
2) Shaykh Abd-al-Mu‘id Khan Hyderabadi
3) Al-Imam Al’Arif Billah Mustafa Rida Khan al-Barelawi, Mufti India
4) Mufti Muhammad Shafi’ Al-Deobandi, Mufti Pakistan
5) Mawlana Muhammad Zakariyya Al-Kandahlawi, Imam Hadith
6) Mawlana Zafar Ahmad Thanawi
7) Shaykh Al-Muhaddith Habib-al-Rahman Al-‘Azami
8) Sayyid Abu-al-Hasan Ali An-Nadawi

Silsilah ini hanya merupakan ulama masyhur yang Syaikh kita telah mendapat ijazah darinya, dan di sana terdapat ramai lagi yang tidak disebutkan. Pada As-sayyid Muhammad Alawi, seseorang akan mendapati nilai terbaik dari para Masyaikh ini dalam pelabagai latarbelakang dan pengkhususan.

Karier Mengajar

Kalimah karier sebenarnya mungkin tidak sesuai untuk digunakan untuk menggambarkan aktiviti mengajar As-Sayyid Muhammad, kerana kalimah ini amat hampir kaitannya dengan keuntungan material. Sementara beliau, seperti mana Masyaikh tradisi yang lain, juga seperti keturunannya sebelum beliau, mengajar hanya kerana Allah dan tidak mengharapkan keuntungan material langsung.

Malahan, beliau menempatkan sejumlah besar pelajar di rumahnya sendiri, menyediakan untuk mereka makan minum, penginapan, pakaian, kitab-kitab serta segala keperluan mereka. Sebagai balasan, mereka hanya diminta mengikuti peraturan dan etika penuntut ilmu agama yang suci. Pelajar-pelajar ini biasanya menetap bersama beliau bertahun-tahun lamanya, mempelajari pelbagai cabang ilmu Islam, dan seterusnya kembali ke negeri masing-masing. Ratusan dari para pelajar telah menuntut di kaki beliau dan telah menjadi pelopor pengetahuan Islam dan kerohanian di negara mereka, terutamanya di Indonesia, Malaysia, Mesir, Yaman dan Dubai.

Bagaimanapun apabila pulang dari Al-Azhar, beliau dilantik sebagai Profesor Pengajian Islam di Universiti Ummul Qura di Makkah, yang mana beliau telah mengajar sejak tahun 1970.

Pada tahun 1971, sebaik bapanya meninggal dunia, para ulamak Makkah meminta beliau untuk menggantikan tempat
bapanya sebagai guru di Masjidil Haram. Beliau menerimanya, lantas menduduki kedudukan yang telah diduduki oleh keluarganya lebih dari seabad. Beliau juga kadang kala mengajar di Masjid Nabi di Madinah. Kuliah pengajian beliau merupakan kuliah yang paling ramai dihadiri di kedua-dua Tanah Haram.

Bagaimanapun pada awal tahun 80-an, beliau telah mengosongkan kedudukan mengajarnya di Universiti Ummul Qura juga kerusi warisannya di Masjidil Haram, memandangkan fatwa dari sebahgian ulamak fanatik fahaman Wahhabi, yang menganggap kewujudannya sebagai ancaman kepada ideologi dan kekuasaan mereka.

Sejak itu, beliau mengajar kitab-kitab agung Hadith, Fiqh, Tafsir dan tasawwuf di rumah dan masjidnya di Jalan Al-Maliki di Daerah Rusayfah, Makkah. Kuliah-kuliah umumnya antara waktu Maghrib dan Isyak dihadiri tidak kurang daripada 500 orang setiap hari. Ramai pelajarnya daripada Universiti menghadiri pengajiannya di waktu malam. Sehingga malam sebelum beliau meninggal dunia, majlisnya dipenuhi penuntut.

Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki amat dihormati oleh Kerajaan Arab Saudi dan selalu diminta nasihat dari Raja sendiri dalam urusan-urusan yang penting. Beliau juga dilantik sebagai ketua juri dalam Musabaqah Qur’an antarabangsa di Makkah selama tiga tahun berturut-turut.

Tulisan Beliau

Sayyid Muhammad merupakan seorang penulis prolifik dan telah menghasilkan hampir seratus buah kitab. Beliau
telah menulis dalam pelbagai topik agama, undang-undang, social serta sejarah, dan kebanyakan bukunya dianggap sebagai rujukan utama dan perintis kepada topik yang dibicarakan dan dicadangkan sebagai buku teks di Institusi-institusi Islam di seluruh dunia.

Kita sebutkan sebahagian hasilnya dalam pelbagai bidang:

Aqidah:

1) Mafahim Yajib an Tusahhah
2) Manhaj As-salaf fi Fahm An-Nusus
3) At-Tahzir min at-Takfir
4) Huwa Allah
5) Qul Hazihi Sabeeli
6) Sharh ‘Aqidat al-‘Awam

Tafsir:

1) Zubdat al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an
2) Wa Huwa bi al-Ufuq al-‘A’la
3) Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi ‘Ulum al-Quran
4) Hawl Khasa’is al-Quran

Hadith:

1) Al-Manhal al-Latif fi Usul al-Hadith al-Sharif
2) Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi ‘Ilm Mustalah al-Hadith
3) Fadl al-Muwatta wa Inayat al-Ummah al-Islamiyyah bihi
4) Anwar al-Masalik fi al-Muqaranah bayn Riwayat al-Muwatta lil-Imam Malik

Sirah:

1) Muhammad (Sallallahu Alaihi Wasallam) al-Insan al-Kamil
2) Tarikh al-Hawadith wa al-Ahwal al-Nabawiyyah
3) ‘Urf al-Ta’rif bi al-Mawlid al-Sharif
4) Al-Anwar al-Bahiyyah fi Isra wa M’iraj Khayr al-Bariyyah
5) Al-Zakha’ir al-Muhammadiyyah
6) Zikriyat wa Munasabat
7) Al-Bushra fi Manaqib al-Sayyidah Khadijah al-Kubra

Usul:

1) Al-Qawa‘id al-Asasiyyah fi Usul al-Fiqh
2) Sharh Manzumat al-Waraqat fi Usul al-Fiqh
3) Mafhum al-Tatawwur wa al-Tajdid fi al-Shari‘ah al-Islamiyyah

Fiqh:

1) Al-Risalah al-Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha
2) Labbayk Allahumma Labbayk
3) Al-Ziyarah al-Nabawiyyah bayn al-Shar‘iyyah wa al-Bid‘iyyah
4) Shifa’ al-Fu’ad bi Ziyarat Khayr al-‘Ibad
5) Hawl al-Ihtifal bi Zikra al-Mawlid al-Nabawi al-Sharif
6) Al-Madh al-Nabawi bayn al-Ghuluww wa al-Ijhaf

Tasawwuf:

1) Shawariq al-Anwar min Ad‘iyat al-Sadah al-Akhyar
2) Abwab al-Faraj
3) Al-Mukhtar min Kalam al-Akhyar
4) Al-Husun al-Mani‘ah
5) Mukhtasar Shawariq al-Anwar

Lain-lain:

1) Fi Rihab al-Bayt al-Haram (Sejarah Makkah)
2) Al-Mustashriqun Bayn al-Insaf wa al-‘Asabiyyah (Kajian Berkaitan Orientalis)
3) Nazrat al-Islam ila al-Riyadah (Sukan dalam Islam)
4) Al-Qudwah al-Hasanah fi Manhaj al-Da‘wah ila Allah (Teknik Dawah)
5) Ma La ‘Aynun Ra’at (Butiran Syurga)
6) Nizam al-Usrah fi al-Islam (Peraturan Keluarga Islam)
7) Al-Muslimun Bayn al-Waqi‘ wa al-Tajribah (Muslimun, Antara Realiti dan Pengalaman)
8) Kashf al-Ghumma (Ganjaran Membantu Muslimin)
9) Al-Dawah al-Islahiyyah (Dakwah Pembaharuan)
10) Fi Sabil al-Huda wa al-Rashad (Koleksi Ucapan)
11) Sharaf al-Ummah al-Islamiyyah (Kemulian Ummah Islamiyyah)
12) Usul al-Tarbiyah al-Nabawiyyah (Metodologi Pendidikan Nabawi)
13) Nur al-Nibras fi Asanid al-Jadd al-Sayyid Abbas (Kumpulan Ijazah Datuk beliau, As-Sayyid Abbas)
14) Al-‘Uqud al-Lu’luiyyah fi al-Asanid al-Alawiyyah (Kumpulan Ijazah Bapa beliau, As-Sayyid Alawi)
15) Al-Tali‘ al-Sa‘id al-Muntakhab min al-Musalsalat wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah)
16) Al-‘Iqd al-Farid al-Mukhtasar min al-Athbah wa al-Asanid (Kumpulan Ijazah)

Senarai di atas merupakan antara kitab As-Sayyid Muhammad yang telah dihasilkan dan diterbitkan. Terdapat banyak lagi kitab yang tidak disebutkan dan juga yang belum dicetak.

Kita juga tidak menyebutkan banyak penghasilan turath yang telah dikaji, dan diterbitkan buat pertama kali, dengan nota kaki dan komentar dari As-Sayyid Muhammad. Secara keseluruhannya, sumbangan As-Sayyid Muhammad amat agung.

Banyak hasil kerja As-Sayyid Muhammad telah diterjemahkan ke perbagai bahasa.

Kegiatan lain

As-Sayyid Muhammad merupakan seorang pembimbing kepada ajaran dan kerohanian Islam yang sebenar dan telah bermusafir ke serata Asia, Afrika, Eropah dan Amerika, menyeru manusia ke arah kalimah Allah dan Rasul terakhir-Nya Muhammad Sallahu Alaihi Wassalam.

Di Asia Tenggara Khususnya, As-Sayyid Muhammad secara peribadi telah mengasaskan dan membiayai lebih 70 buah Sekolah Islam untuk melawan aktiviti dakyah Kristian. Sejumlah besar penganut Kristian dan Budha telah memeluk Islam di tangannya hanya setelah melihat Nur Muhammad yang bersinar di wajahnya.

Ke mana sahaja beliau pergi, para pemimpin, ulamak dan masyarakat di tempat tersebut akan menyambutnya dengan penuh meriah. Beliau seringkali memberi ceramah kepada ratusan ribu manusia.

Beliau amat disayangi dan dicintai oleh Muslimin di seluruh dunia, bukan sahaja kerana beliau keturunan Rasulullah, tetapi juga kerana ilmunya yang luas, hikmahnya, akhlak serta watak rohaninya. Beliau juga amat terkenal amat pemurah dengan ilmu, kekayaan dan masanya.

Pendekatan

As-Sayyid Muhammad mengikuti dan menyelusuri tradisi arus utama dan majoriti Islam, jalan Ahlu Sunnah Waljamaah, jalan toleransi dan sederhana, pengetahuan dan kerohanian, serta kesatuan dalam kepelbagaian.

Beliau percaya kepada prinsip berpegang dengan empat mazhab yang masyhur, tetapi tanpa fanatik. Beliau mengajar rasa hormat kepada ulamak dan Awliyak agung yang lepas.

Beliau menentang sikap sewenang-wenangnya mengatakan Muslim lain sebagai Kafir dan Musyrik, yang telah menjadi tanda dan sifat utama sebahagian fahaman hari ini.

Beliau amat menentang dan kritis terhadap mereka yang digelar reformis (Islah) abad ke-20 yang dengan mudah ingin menghapuskan Islam generasi terdahulu menggunakan nama Islam yang suci.

Beliau juga memahami bahawa mencela kesemua Ash’ari, atau kesemua Hanafi, Syafi’e dan Maliki, kesemua sufi, seperti mana yang dilakukan oleh sebahagian fahaman hari ini adalah sama dengan mencela keseluruhan Ummah Islam ribuan tahun yang lampau. Ia hanya merupakan sifat dan pendekatan musuh Islam, dan bukannya rakan.

Sayyid Muhammad juga amat mempercayai bahawa ulamak –ulamak Mazhab yang agung – mengikuti Sunni-Sufi – sejak beratus tahun yang lalu, adalah penghubung kita kepada Al-Quran dan Assunnah, dan bukanlah penghalang antara keduanya dengan kita, seperti yang dipercayai sesetengah pihak.

Kefahaman yang benar berkenaan Al-Quran dan Sunnah ialah kefahaman yang berasaskan tafsiran para ulamak agung Islam, dan bukan dengan sangkaan para ekstrimis zaman moden ini yang tidak berfikir dua kali sebelum mencela majoriti Muslim di seluruh dunia. Sayyid Muhammad juga berpendapat majoriti ummah ini adalah baik. Kumpulan-kumpulan minoriti yang fanatiklah yang perlu mengkaji semula fahaman ekstrim mereka.

Sayyid Muhammad merupakan pendukung sebenar Sufi yang berasaskan Syariah, Sufi para Awliya’ agung dan solehin ummah ini. Beliau sendiri merupakan mahaguru kerohanian di tingkat yang tertinggi, berhubungan dengan kebanyakan peraturan kerohanian Islam, melalui para Masyaikh Tariqah yang agung.

Beliau turut mempercayai bahawa membaca Zikir, samaada secara bersendirian atau berkumpulan, adalah bahagian penting dalam kerohanian seseorang. Semua pelajarnya dimestikan bertahajjud dan membaca wirid pagi dan petang.

Sayyid Muhammad juga beranggapan, ummat Islam perlu menggunakan segala hasil yang ada untuk meningkatkan taraf ummah mereka dari sudut kerohanian, masyarakat dan juga material, dan tidak membuang masa yang berharga dengan berbalah pada perkara-perkara kecil. Beliau percaya Muslim tidak seharusnya mencela satu sama lain dalam perkara yang telah diselisihkan oleh para ulamak. Mereka sebaliknya perlu berganding bahu bersama untuk memerangi apa yang telah disepekati sebagai kejahatan dan dosa.

Pandangan dan pendirian Sayyid Muhammad ini digambarkan dalam tulisannya yang terkenal, Mafahim Yajib An Tusahhah (Kefahaman Yang Perlu Diperbetulkan), sebuah buku yang mendapat penghargaan meluas di seluruh dunia Islam dan diiktiraf tinggi di lingkaran para ulamak.

Tidak diragui lagi, kehadiran Sayyid Muhammad Alawi merupakan rahmat buat ummah ini. Beliau merupakan waris kepada kekasih kita Nabi Muhammad Sallahu Alaihi Wasallam dari sudut darah daging serta kerohanian. Masyarakat Makkah dan Madinah teramat mencintai beliau seperti mana dilihat pada solat jenazah beliau.

Siapa sahaja yang pernah menemui beliau jatuh cinta dengan beliau. Rumahnya di kota suci Makkah sentiasa terbuka sepanjang tahun untuk ulamak dan para penuntut yang menziarahi, ribuan orang yang menuju kepadanya. Beliau juga tidak kenal erti takut dalam berkata yang benar dan telah mengalami detik-detik kepayahan kerana kebenaran. Walaubagaimanapun pertolongan Allah kelihatan sentiasa bersama dengannya. RadhiyAllahu Anhu WaArdhaah. Ameen.

Maklumat lanjut kehidupan dan pencapaiannya boleh dirujuk biografinya yang hebat bertajuk, Al-Maliki ‘Alim Hijjaz, karangan penulis dan sejarahwan terkenal Makkah, Dr Zuhayr Kutbi.

Pemergiannya

Beliau telah meninggalkan kita pada hari Jumaat, 15 Ramadhan (bersesuaian dengan doanya untuk meninggal dunia pada bulan Ramadhan), dalam keadaan berpuasa di rumahnya di Makkah. Kematiannya amat mengejutkan.

Benar.. Ia adalah satu kehilangan yang besar.. Ucapan takziah diucapkan dari seluruh dunia Islam. Solat janazah beliau dilakukan di seluruh pelusuk dunia.

Beliau telah pergi pada bulan Ramadhan dan pada hari Jumaat.

Saya adalah antara yang menunaikan solat jenazah (pertama di rumah beliau diimamkan oleh adiknya As-Sayyid Abbas, dan seterusnya di Masjidil Haram dengan Imam Subayl)… Ratusan ribu manusia membanjiri upacara pengebumiannya. Semua orang menangis dan sangat bersedih… Ia merupakan satu situasi yang tidak dapat dilupakan… Allahu Akbar…

Betapa hebatnya beliau… betapa besarnya kehilangan ini… Betapa ramainya yang menyembahyangkannya… Saya tahu mata saya tidak pernah menyaksikan seorang spertinya… Seorang yang amat dicintai oleh masyarakat seperti beliau… seorang ulamak yang berkaliber dan berpengetahuan serta berhikmah…

Terdapat sekurang-kurangnya 500 orang tentera diperintah oleh kerajaan Arab Saudi di perkuburan Ma’ala untuk mengawal ribuan orang yang menangisinya. Kerabat diraja juga turut hadir. Para manusia menempikkan Kalimah dengan kuat sepanjang upacara pengebumian beliau, memenuhi Makkah dari Masjidil Haram sehingga ke tanah perkuburan.

Beliau disemadikan di sebelah bapanya, berhampiran maqam nendanya Sayyidah Khadijah. Sebelum beliau meninggal dunia, beliau ada menghubungi seorang pelajar lamanya di Indonesia melalui telefon dan bertanyanya adakah dia akan datang ke Makkah pada bulan Ramadhan. Apabila dia menjawab tidak, Sayyid Muhammad bertanya pula, “tidakkah engkau mahu menghadiri penegebumianku?”

Tepat sekali, beliau pergi pada bulan Ramadhan di pagi Jumaat… apakah lagi bukti yang diperlukan menunjukkan penerimaan Allah?! Makkah menangisi pemergiannya… Seluruh dunia Islam menangisi kehilangannya. Moga Allah menganugerahkan beliau tempat yang tertinggi di Jannah, bersama-sama kekasihnya dan datuknya Rasulullah Sallahu Alaihi Wasallam. Ameen.

Wallahu A’lam. Wassollahu Ala Saiyidina Rasulillah WaAla Alihi Wasohbihi Waman Walah, Walhamdulillahi Rabbil ‘Alamin
sumber: ba-alawi.com

Habib Thohir Bin Abdullah Al-Kaaf

Dialah Habib Thohir bin Abdullah Al-Kaf, salah satu keluarga Al-Kaf yang paling keras dalam berdakwah dari tujuh bersaudara anak lelaki Habib Abdullah Al-Kaf. Sebagai pendakwah, pria kelahiraan Tegal, 15 Agustus 1960, ini dikenal sangat konsisten dalam membentengi umat dari pendangkalan akidah, terutama oleh berkembangnya aliran sesat.

Ditopang oleh postur tubuhnya yang tinggi tegap saat di mimbar, dai yang satu ini bak singa podium. Ceramahnya berapi-api, membakar semangat jama’ah. Terkadang nada suaranya baik air yang mengalir deras, penuh ketegasan. Gaya berdakwah dai yang satu ini memang sangat khas, suara bariton yang berat dan dalam. Orasinya terkesan galak, penuh nada kritik namun bertanggung jawab. Sesekali dalam ceramahnya, ia menyelipkan canda-canda yang segar. Sehingga, dalam tiap pengajian yang diisi olehnya, ribuan jamaah betah mendengarkan sampai acara pengajian berakhir.

Mengenakan baju koko putih dan bersarung, demikian tampilan sederhana habib yang sebagian besar waktunya habis untuk berdakwah ini. Ditunjang oleh sosoknya yang tinggi besar, kalau sedang berbicara di atas panggung, nada bariton yang berat dan suara menggelegar, itulah ciri khasnya. Gaya pidatonya berapi-api penuh semangat, sehingga dai ini terkesan angker. Namun, di balik kesehariannya, ia adalah seorang yang berhati lembut, bertutur kata pelan dan bersahaja.

Habib Thohir mendapatkan pendidikan agama dari ayah, Habib Abdullah Al-Kaf, yang dikenal sebagai ulama senior di Jawa Tengah. Kemudian SD dan SMP Al-Khairiyah di Tegal. Baru, pada tahun 1980, menjadi santri Sayid Al-Maliki di Pesantren Al-Haramayn asy-Asyarifain Makkah. Dia menjadi santri selama enam tahun bersama adiknya, Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf. Habib Hamid kini dikenal sebagai muballigh dan pemimpin Pondok Pesantren Al-Haramayn asy-Asyarifain, Jln. Ganceng, Pondok Ranggon, Cilangkap, Jakarta Timur.

Pulang ke Indonesia tahun 1986, Habib Thohir langsung terjun ke bidang dakwah, dan pernah juga menjadi ustaz di beberapa pesantren. Kini, meski berkeluarga di Pekalongan, dia lebih banyak membina umat di Tegal, khususnya di Masjid Zainal Abidin. Di masjid yang terletak di Jalan Duku Tegal itulah, dia mengadakan majelis taklim yang diberi nama “Majelis Taklim Zainal Abidin”.

Dia berharap, pesantren Zainal Abidin, yang sejak lama digagasnya, akan bisa dibangun di Tegal. Sebab sudah banyak orang tua yang ingin menitipkan anaknya kepadanya. Namun, cita-citanya itu tampaknya masih akan lama terwujud, sebab sekarang jadwal berdakwahnya masih padat.

Hampir dalam berbagai dakwah, entah dalam kesempatan majelis taklim, haul, ataupun seminar, dia selalu memperingatkan beberapa kesesatan yang dilancarkan kepada kaum muslimin di Indonesia. Sebab Islam di Indonesia, menurutnya, adalah Islam warisan Walisanga, yaitu Ahlusunnah wal Jamaah, bukan Syiah maupun Ahmadiyah, misalnya. Nama Habib Thohir lebih banyak dikenal oleh kaum muslimin yang tinggal di pelosok-pelosok desa. Karena dia lebih senang berdakwah di daerah-daerah, bahkan masuk di pedesaan.

Habib Thohir juga mengharapkan, para ulama dan cendekiawan mempunyai sikap dan kepedulian untuk membentengi umat Islam dari kerusakan akidah. Kepada sesama Ahlussunah wal Jamaah, diharapkan tidak perlu lagi berdebat soal furu’iyyah (masalah cabang-cabang agama), seperti tahlil, Maulid, haul, dan lainnya.

“Jangan dianggap bahwa orang-orang yang menjalankan ritus ini tidak mempunyai argumentasi. Dan sewaktu berdebat dengan orang-orang semacam ini berarti berhadapan dengan saudara sendiri. Perlu diketahui juga, mayoritas umat Islam Indonesia adalah paham Ahlussunah wal Jamaah, yang senang tahlil, Maulid, haul, dan lain-lain. Dakwah semacam ini, dipastikan akan mendapat tantangan. Contoh di kota Mataram beberapa waktu lalu, sebuah pondok pesantren dibakar, karena melarang talqin. Ini bisa timbul di tempat lain,” katanya dengan nada penuh prihatin.

Habib Thohir menambahkan, perdebatan semacam persoalan furu’iyyah sebaiknya segera diakhiri. Menurutnya perdebatan-perdebatan semacam itu sangat kontraproduktif bagi umat Islam. “Di saat kita membutuhkan energi, kekuatan, dan ilmu kita untuk sesuatu yang sangat berbahaya menimpa umat – terutama aliran sesat – kita kok masih berdebat soal khilafiyah?” kata bapak dua orang putra ini.

Karena panggilan rasa persatuan itulah, Habib Thohir senantiasa menggandeng semua pihak untuk bisa duduk bersama dan bahu-membahu membangun dan berdakwah untuk umat.

“Jadi paham aliran sesat dan paham-paham di luar Islam, seperti sekularisme, pluralisme, dan liberalisme perlu diluruskan. Ini dapat merusak akidah umat Islam, karena paham-paham ini mengarah para pemurtadan. Alasannya sudah cukup kuat, yakni memutuskan akal, merekayasa fiqih lintas agama karena fiqih Islam dianggap tidak demokratis, dan berupaya meragukan kaidah keislaman,” kata Habib Thohir lagi.

Tekadnya untuk memerangi aliran sesat semakin mantap ketika dia menjadi pemrasaran dalam seminar Sekitar Syi’ah di Aula Masjid Istiqlal pada 1997. Sikapnya terus berlanjut dengan berbagai seminar di dalam maupun luar negeri.

“Kita diperintahkan oleh Nabi untuk bangkit, tidak diam. Mana yang bangkit? Siapa yang berjuang dan menantang arus ini (pendangkalan akidah – Red.)?”

Habib Thohir, selain berdakwah dengan pidato-pidatonya yang kerap menolak aliran sesat, juga telah menuliskan karyanya dengan judul Mengapa Kita Menolak Syiah?, serta beberapa buku lainnya. Namun, dia merasakan lebih mantap untuk menjelaskan kepada umat lewat dakwah bil lisan, sebab umat belum terbiasa untuk membaca buku.

Dia sangat menyesalkan lambannya penanganan yang dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan. Padahal, menurutnya, gerakan aliran sesat itu sekarang masih berjalan, walaupun dalam skala yang kecil dan sembunyi-sembunyi. “Di saat orang lain diam, saya katakan, saya menyediakan diri untuk menghadapinya sekalipun sendirian!”

Ketika disinggung tentang maraknya kegiatan terorisme yang banyak menimpa umat Islam, Habib Thohir dengan keras menentangnya. “Islam tidak mengenal teroris, keberadaan orang-orang yang melaksanakan kegiatan terorisme sangat merugikan citra Islam. Sehingga dilihat, seakan-akan Islam itu kejam, keras, tidak kenal kasih sayang.”

Habib Thohir sendiri merasakan betapa masyarakat kita, dan skala yang lebih luas internasional, begitu ketat dalam menanggapi fenomena terorisme. Ia mengisahkan pernah “diinterogasi” petugas intelijen dan imigrasi di perbatasan antara Malaysia dan Singapura.

Kisahnya bermula ketika dia mendapat undangan untuk mengisi peringatan haul di Masjid Ba’alawi Singapura. “Saya sampai dua jam diinterogasi, dikira teroris. Ditanya ini-itu, sampai menanyakan istri dan anak, pendidikan, sekitar dua jam. Sangat melelahkan. Itu salah satu imbas efek terorisme,” kata Habib Thohir.

Bahkan tidak hanya terjadi ketika di Singapura. Pulang ke tanah air pun, dia masih merasakan efek terorisme. Ketika masuk bandara, mall, hotel, ia selalu diperiksa dengan ketat. “Ini semua karena ‘efek samping’ suatu perbuatan saudara kita yang salah sasaran. Dan ini justru menjadi kesempatan bagi orang-orang di luar Islam untuk menjelek-jelekkan citra Islam,” komentarnya mengenai terorisme.

Karenanya, untuk menyudahi persoalan terorisme, Habib Thohir mengimbau umat Islam untuk mendefinisikan kembali makna dan hakikat jihad. Yakni, jihad tidak dibenarkan menggunakan bom. Menurutnya, teror bom hanya akan mengganggu kehidupan umat manusia. Jihad merupakan sarana dakwah, bukan tujuan, sehingga harus dilaksanakan secara baik, bermanfaat luas, dan jauh dari anarkisme dan kekerasan.

Jihad itu mempunyai aturan main yang sangat luas. Jadi, berjihadlah seperti yang dilakukan Nabi Muhammad SAW. “Kapan kita harus perang, kepada siapa kita berperang, dan siapa saja yang harus kita perangi? Perempuan, anak-anak, orang yang sedang beribadah sekalipun nonmuslim, tidak boleh dibunuh. Binatang tidak boleh dibunuh, bahkan pohon dan barang-barang pun tidak boleh dirusak!”

KATA BIJAK RELIGY

  1. Tiga sifat manusia yang merusak adalah : kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti, serta sifat mengagumi diri sendiri yang berlebihan. ~ Nabi Muhammad Saw
  2. Pahlawan bukanlah orang yang berani menetakkan pedangnya ke pundak lawan, tetapi pahlawan sebenarnya ialah orang yang sanggup menguasai dirinya dikala ia marah. ~ Nabi Muhammad Saw
  3. Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seseorang tidak beriman hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. ~ Nabi Muhammad SAW
  4. Jauhilah dengki, karena dengki memakan amal kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar. ~ Nabi Muhammad SAW
  5. Yang terbaik di antara kalian adalah mereka yang berakhlak paling mulia. ~ Nabi Muhammad SAW
  6. Allah tidak melihat bentuk rupa dan harta benda kalian, tapi Dia melihat hati dan amal kalian. ~ Nabi Muhammad SAW
  7. Kecintaan kepada Allah melingkupi hati, kecintaan ini membimbing hati dan bahkan merambah ke segala hal. ~ Imam Al Ghazali
  8. Raihlah ilmu, dan untuk meraih ilmu belajarlah untuk tenang dan sabar. ~ Khalifah ‘Umar
  9. Setiap orang di dunia ini adalah seorang tamu, dan uangnya adalah pinjaman. Tamu itu pastilah akan pergi, cepat atau lambat, dan pinjaman itu haruslah dikembalikan. ~ Ibnu Mas’ud
  10. Ketahuilah bahwa sabar, jika dipandang dalam permasalahan seseorang adalah ibarat kepala dari suatu tubuh. Jika kepalanya hilang maka keseluruhan tubuh itu akan membusuk. Sama halnya, jika kesabaran hilang, maka seluruh permasalahan akan rusak. ~ Khalifah ‘Ali
  11. Sabar memiliki dua sisi, sisi yang satu adalah sabar, sisi yang lain adalah bersyukur kepada Allah. ~ Ibnu Mas’ud
  12. Takutlah kamu akan perbuatan dosa di saat sendirian, di saat inilah saksimu adalah juga hakimmu. ~ Khalifah ‘Ali
  13. Orang yang paling aku sukai adalah dia yang menunjukkan kesalahanku. ~ Khalifah ‘Umar
  14. Niat adalah ukuran dalam menilai benarnya suatu perbuatan, oleh karenanya, ketika niatnya benar, maka perbuatan itu benar, dan jika niatnya buruk, maka perbuatan itu buruk. ~ Imam An Nawawi
  15. Sesungguhnya seorang hamba itu bila merasa ujub kerana suatu perhiasan dunia, niscaya Allah akan murka kepadanya hingga dia melepaskan perhiasan itu. ~ Sayidina Abu Bakar
  16. Aku mengamati semua sahabat, dan tidak menemukan sahabat yang lebih baik daripada menjaga lidah.Saya memikirkan tentang semua pakaian, tetapi tidak menemukan pakaian yang lebih baik daripada takwa. Aku merenungkan tentang segala jenis amal baik, namun tidak mendapatkan yang lebih baik daripada memberi nasihat baik. Aku mencari segala bentuk rezki, tapi tidak menemukan rezki yang lebih baik daripada sabar. ~ Sayidina Umar bin Khattab
  17. Barangsiapa takut kepada Allah SWT nescaya tidak akan dapat dilihat kemarahannya. Dan barangsiapa takut pada Allah, tidak sia-sia apa yang dia kehendaki. ~ Sayidina Umar bin Khattab
  18. Orang yang bakhil itu tidak akan terlepas daripada salah satu daripada 4 sifat yang membinasakan yaitu : Ia akan mati dan hartanya akan diambil oleh warisnya, lalu dibelanjakan bukan pada tempatnya atau; hartanya akan diambil secara paksa oleh penguasa yang zalim atau; hartanya menjadi rebutan orang-orang jahat dan akan dipergunakan untuk kejahatan pula atau; adakalanya harta itu akan dicuri dan dipergunakan secara berfoya-foya pada jalan yang tidak berguna. ~ Sayidina Abu Bakar
  19. Orang yang banyak ketawa itu kurang wibawanya. Orang yang suka menghina orang lain, dia juga akan dihina. Orang yang mencintai akhirat, dunia pasti menyertainya.
  20. Barangsiapa menjaga kehormatan orang lain, pasti kehormatan dirinya akan terjaga. ~ Sayidina Umar bin Khattab
  21. Hendaklah kamu lebih memperhatikan tentang bagaimana amalan itu diterima daripada banyak beramal, kerana sesungguhnya terlalu sedikit amalan yang disertai takwa. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah
  22. Janganlah seseorang hamba itu mengharap selain kepada Tuhannya dan janganlah dia takut selain kepada dosanya. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah
  23. Tiada sholat yang sempurna tanpa jiwa yang khusyu’.Tiada puasa yang sempurna tanpa mencegah diri daripada perbuatan yang sia-sia. Tiada kebaikan bagi pembaca al-Qur’an tanpa mengambil pangajaran daripadanya. Tiada kebaikan bagi orang yang berilmu tanpa memiliki sifat wara’. Tiada kebaikan mengambil teman tanpa saling sayang-menyayangi. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah
  24. Tidak ada kebaikan ibadah yang tidak ada ilmunya dan tidak ada kebaikan ilmu yang tidak difahami dan tidak ada kebaikan bacaan kalau tidak ada perhatian untuknya. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah
  25. Nikmat yang paling baik ialah nikmat yang kekal dimiliki.
  26. Doa yang paling sempurna ialah doa yang dilandasi keikhlasan. Barangsiapa yang banyak bicara, maka banyak pula salahnya. Siapa yang banyak salahnya, maka hilanglah harga dirinya. Siapa yang hilang harga dirinya, bererti dia tidak wara’. Sedang orang yang tidak wara’ itu berarti hatinya telah mati. ~ Sayidina Ali Karamallahu Wajhah
  27. Tiada yang lebih baik dari dua kebaikan : Beriman pada Allah dan bermanfaat bagi manusia. Tiada yang lebih buruk dari dua kejahatan : Syirik pada Allah dan merugikan manusia.
  28. Tiga tanda kesempurnaan iman : Kalau marah, marahnya tidak keluar dari kebenaran. Kalau senang, senangnya tidak membawanya pada kebatilan. Ketika mampu membalas, ia memaafkan.
  29. Dengannya Allah kuburkan kedengkian, Dengannya Allah padamkan permusuhan; Melaluinya diikat persaudaraan; Yang hina dimulyakan. Yang tinggi direndahkan.
  30. Jika orang dapat empat hal, ia dapat kebaikan dunia akhirat: Hati yang bersyukur, lidah yang berzikir, badan yang tabah pada cobaan, dan pasangan yang setia menjaga dirinya dan hartanya
  31. Nabi ditanya bermanfaatkah kebajikan setelah dosa? Ia menjawab: Taubat membersihkan dosa, kebaikan menghapuskan keburukan.
  32. Manusia Paling baik adalah orang yang dermawan dan bersyukur dalam kelapangan, yang mendahulukan orang lain, bersabar dalam kesulitan.
  33. Tiga manusia tidak akan dilawan kecuali oleh orang yang hina : orang yang berilmu yang mengamalkan ilmunya, orang cerdas cendikia dan imam yang adil.
  34. Tiada musibah yang lebih besar daripada meremehkan dosa-odsamu dan merasa ridho dengan keadaan rohaniahmu sekarang ini.
  35. Hati Adalah Ladang. Sesungguhnya setengah perkataan itu ada yang lebih keras dari batu, lebih tajam dari tusukan jarum, lebih pahit daripada jadam, dan lebih panas daripada bara. Sesungguhnya hati adalah ladang, maka tanamlah ia dengan perkataan yang baik, karna jika tidak tumbuh semuanya (perkataan yang tidak baik), niscaya tumbuh sebahagiannya.

 

                                                                                               ** Dari berbagai sumber

Biografi KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz

Pendobrak Pemikiran Tradisional NU 

Sosoknya sangat bersahaja. Bicaranya tenang, lugas, tidak berpretensi mengajari. Padahal KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz sangat disegani. Dia dua periode menjabat Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2009) dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2000-2010.

Pada Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII (28/7/2005) Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), itu terpilih kembali untuk periode kedua menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2005-2010.

Pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Donohudan, Boyolali, Jateng., Minggu (28/11-2/12/2004), dia pun dipilih untuk periode kedua 2004-2009 menjadi Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU).

Pada 26 November 1999, untuk pertama kalinya dia dipercaya menjadi Rais Aam Syuriah PB NU, mengetuai lembaga yang menentukan arah dan kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan lebih 30-an juta orang itu.

KH Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000 sampai tahun 2005.

Di luar itu, KH Sahal adalah pemimpin Pondok Pesantren (Ponpes) Maslakul Huda sejak tahun 1963. Ponpes di Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, ini didirikan ayahnya, KH Mahfudz Salam, tahun 1910.

Dalam Muktamar NU ke-31 di Bayolali itu, pemilihan Rois Aam dan Ketua Umum, sesuai tata tertib syogianya dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Calon Rais Aam dan Ketua Umum dianggap sah apabila mendapat dukungan minimal 99 suara dari 465 suara muktamirin. Apabila hanya ada satu calon yang mencapai minimal 99 suara, calon tersebut bisa disahkan secara bulat atau aklamasi.

Dalam tahap pencalonan Rais Aam pada Muktamar NU ke-31, ini peserta muktamar mengajukan tujuh nama. Setelah dilakukan pemungutan dan penghitungan suara, KH Sahal Mahfudh mendapat 363 suara, KH Abdurrahman Wahid 75 suara, KH Hasyim Muzadi 5 suara, Said Agil Siradj 1 suara, Alwi Shihab 2 suara, KH Mustofa Bisri 3 suara, dan Rahman S 1 suara. Satu suara abstain dan satu suara tidak sah. Sehingga sesuai tata tertib, peserta muktamar secara aklamasi menerima Sahal Mahfudh sebagai Rais Aam.

Pertama kali, KH Sahal Mahfudz terpilih sebagai Ketua Rais Aam dalam Muktamar XXX NU di Lirboyo, Kediri, 26 November 1999. Ketika itu KH Sahal antara lain mengatakan, sejak awal berdirinya NU, warga NU yang merupakan bagian dari masyarakat madani berada pada kutub yang berseberangan dengan negara, dan KH Sahal mencoba mempertahankan tradisi tersebut. Saat itu, konteksnya adalah naiknya KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI.

Pemimpin Ponpes Maslakul Huda, Rais Aam PB NU dan Ketua Umum MUI, KH Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU yang mayoritas berasal dari kalangan akar rumput. Dia juga tidak sependapat dengan adanya keinginan sebagian orang untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Menurutnya, hal itu tidak perlu. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, tidak berarti perlu piagam. “Argumentasi itu malah ironis. Karena mayoritas sudah Muslim, maka mayoritas sudah akan melaksanakan syariat Islam sendiri-sendiri. Bila memang harus diatur pemerintah, yang kena aturan itu hanya orang Islam saja,” katanya.

Dia pun menyatakan pemerintah tidak perlu ikut campur dalam hal agama. Menurutnya, pemerintah sebagai pengayom memang bertanggung jawab, berhak, dan berkewajiban membina, memberi fasilitas untuk semua agama, tetapi jangan intervensi terlalu jauh sebab itu hubungan manusia dengan Tuhan.
Alasannya, katanya, agama itu tidak berorientasi pada kekuasaan, tidak ingin agama lebih dominan dari agama, tetapi juga negara jangan lebih dominan dari agama, memakai agama sebagai justifikasi. Agama itu harus mandiri.

Sementara perihal Pancasila, dia menyatakan itu bukan ciri, tetapi visi. “Identitas artinya ciri intrinsik yang melekat pada sesuatu yang dicirikan. Identitas bangsa banyak dibicarakan orang, tetapi tidak banyak dikupas. Bila identitas bangsa sudah ditetapkan, daerah boleh memiliki ciri khasnya dengan koridornya tetap identitas bangsa.

Dia mencontohkan daerah yang mayoritasnya Muslim yang ingin menerapkan ciri khas Islam, itu tidak mudah. Hal itu, menurutnya, perlu persiapan panjang karena setelah syariat semuanya harus tunduk pada syariat Islam. Sebab, bagaimana dengan penduduk yang bukan Muslim? Apa hukum yang dipakai untuk mereka? Bila hal ini tidak jelas, akan menimbulkan konflik, ada isolasi karena perbedaan agama. Menurutnya, ini tidak boleh, karena keragaman agama itu juga dibenarkan oleh Islam.

Begitu pula soal globalisasi. Menurutnya, hal itu keniscayaan. “Siapa bisa menolak?’ tanyanya. Globalisasi , jelasnya, akan menimbulkan perubahan sikap hidup dan peri laku masyarakat. Sementara, di Indonesia sekarang yang menonjol konsumtivisme. Ini, antara lain, dampak iklan. Dalam hal ini, serunya, mental secara ekonomis harus ditanamkan. Mental ekonomis yang bagus itu seperti mental singkek, pedagang Cina yang ulet. Dia sama sekali tidak konsumtif melainkan hemat, dari nol, setelah kaya pun tidak menyombongkan kekayaannya, ulet.

KH Sahal dilahirkan di Pati 17 Desember 1937. Hampir seluruh hidupnya dijalani di pesantren, mulai dari belajar, mengajar dan mengelolanya. KH Sahal hanya pernah menjalani kursus ilmu umum antara 1951-1953, sebelum mondok di Pesantren Bendo, Kediri (JAtim), Sarang, Rembang (Jateng), lalu tinggal di Mekkah selama tiga tahun.

Sikap demokratisnya menonjol dan dia mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan.

Selain memiliki 500-an santri, Ponpes Maslakul Huda juga punya sekolah madrasah ibtidaiyah sampai madrasah aliyah dengan 2.500-an murid, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Arta Huda Abadi yang lima tahun lalu berdiri, koperasi, rumah sakit (RS) umum kelas C RS Islam Pati, memberi kredit tanpa bunga kelompok usaha mikro dengan dana bergulir, mengajar masyarakat membuat “asuransi” kesehatan dengan menabung setiap rumah tangga tiap bulan di kelompoknya, dan banyak lagi.

KH Sahal yang menikah dengan Dra Hj Nafisah Sahal dan berputra Abdul Ghofar Rozin (23), dilahirkan di Kajen, Pati, pada tanggal 17 Desember 1937. KH Sahal juga seorang intelektual yang ditunjukkan melalui tulisannya antara lain buku-buku Al Faroidlu Al Ajibah (1959), Intifakhu Al Wadajaini Fie Munadohorot Ulamai Al Hajain (1959), Faidhu Al Hijai (1962), Ensiklopedi Ijma’ (1985), Pesantren Mencari Makna, Nuansa Fiqih Sosial, dan Kitab Usul Fiqih (berbahasa Arab), selain masih menulis kolom Dialog dengan Kiai Sahal di harian Duta Masyarakat yang isinya menjawab pertanyaan masyarakat.

KH Sahal yang punya koleksi 1.800-an buku di rumahnya di Kajen, sudah lebih 10 tahun menjadi Rektor Institut Islam NU di Jepara.

BPR Arta Huda Abadi
Di pesantren ia punya lembaga khusus, Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, berdiri tahun 1977 sampai sekarang, yang menangani pengembangan masyarakat dari sisi menciptakan pendapatan, kesehatan, dan pendidikan.
Mula-mula membina perajin kerupuk yang di sana disebut kerupuk tayamum karena digoreng pakai pasir.

Hampir seluruh tetangga pesantrennya pada tahun 1977 itu bikin kerupuk. Modalnya Rp 5.000, itu pun sudah terlalu banyak. Ia beri pinjaman bergulir tak berbunga. Modalnya dari saldo kegiatan internal pesantren seperti kegiatan belajar-mengajar, dari SPP, sedikit demi sedikit dikumpulkan.

Ia jua memberikan kepada kelompok supaya ada kerja bersama, kerja kooperatif, karena mereka terlalu gurem. Mereka mencicil tiap minggu, setelah terkumpul Rp 5.000 diberikan kepada kelompok baru. Usaha mereka berkembang dan kemudian banyak yang merasa usaha itu terlalu kecil. Mereka pindah usaha. Karena usaha mereka semakin besar, perlu dana lebih banyak. Lalu ia mencoba membantu dengan mendirikan BPR Arta Huda Abadi pada tahun 1997.

Modal awalnya pada masa itu cukup Rp 50 juta, juga dikumpulkan dari dana pesantren sendiri yang merupakan pemegang saham terbesar, tetapi BPR juga melibatkan alumni pesantren yang berminat mengembangkan BPR ini.

Tahun 2002 asetnya sudah lebih dari Rp 10 milyar, dan terus berkembang. Sudah punya kas pembantu di Kota Juwana, Kota Pati, dan daerah perbatasan Jepara-Pati. Kantor pusatnya di Kajen, di dekat pesantren Maslakul Huda.

Pesantren juga punya koperasi yang sudah lima bulan mengembangkan Unit Simpan-Pinjam Syariah yang sistem simpan-pinjamnya bagi hasil. Di daerah sekitar Pati, ini adalah koperasi syariah pertama. Modalnya juga berbentuk saham milik pesantren, staf koperasi, dan alumni. Wartel pun sahamnya kami bagi-bagi, tidak cuma pesantren. Prinsipnya, rezeki itu jangan dipek (dihaki) sendiri.

Ketika ada program Jaring Pengaman Sosial saat krisis ekonomi tahun 1997-1998, ada bantuan beras dari Jepang. Pesantren Maslakul Huda termasuk yang kebagian jatah membagi beras untuk orang miskin. Ia terima, dengan syarat tidak mau hanya membagi. Bila hanya membagi akan membuat mereka jadi lebih tergantung.

Maka ia meminta mereka membentuk kelompok, tiap sepuluh keluarga jadi satu kelompok. Ada kira-kira 176 kelompok. Setiap keluarga dalam kelompok diminta menabung setiap hari, besarnya terserah kesepakatan anggota kelompok. Rata-rata per keluarga bisa menabung Rp 1.000 per hari. Itu tabungan milik mereka, mereka urus sendiri, dan setor sendiri ke BPR atas nama kelompok.

Setelah proyek selesai dalam tiga bulan, masing-masing kelompok rata-rata punya tabungan Rp 900.000. Ini lalu dipakai modal usaha kelompok. Jumlahnya ratusan kelompok, kebanyakan ibu-ibu.

Ketika pihak Jepang dilapori, mereka terkejut. Lalu mereka bertanya, apa keinginannya selanjutnya. Ia katakan, ingin mereka dibina sebagai kelompok usaha. Pihak Jepang bersedia membantu biaya pelatihan Rp 500.000 per kelompok. Pelatihan disesuaikan kebutuhan kelompok, tetapi rata-rata minta pelatihan pembukuan keuangan karena akan berhubungan dengan bank nantinya.

Selesai dilatih, pihak Jepang masih menambah bantuan Rp 500.000 per kelompok untuk modal. Jadi, tiap kelompok rata-rata punya Rp 1,4 juta, kalau dipakai untuk kulakan bayam uangnya sudah bisa bergulir.

Ada kelompok perkebunan, ada kelompok rambutan binjai. Di sana rambutan binjai tumbuh bagus dan sudah panen berkali-kali. Ada kelompok tani kacang tanah yang memasok ke Kacang Garuda karena kami punya kerja sama. Lalu ada kelompok tani singkong tepung tapioka.

Pesantren hanya memotivasi dan membimbing, tetapi untuk yang teknis pesantren memanggil ahlinya. Misalnya, untuk pengolahan limbah cair tapioka, mengundang Universitas Diponegoro.

Dalam membina petani tersebut, pesantren menggunakan pendekatan dari bawah. Ditelusuri apa kebutuhan dasar mereka dengan bertemu dengan tokoh masyarakat, dan mencari tahu apa kesulitan mereka. Lalu dicarikan solusi, kemudian didiskusikan dengan masyarakat. Pendekatannya begitu. Ia mau masyarakat berdiskusi terbuka, dan mereka juga menyampaikan pikirannya. Tidak cuma inggih-inggih.

Ia memang tidak hanya mengurusi pesantren. Tetapi juga sangat peduli kepada kepentingan masyarakat luas di luar pesantren. Menurutnya, hal itu aplikasi ajaran Islam bahwa manusia yang terbaik adalah yang banyak memberikan manfaat untuk orang lain. Selain itu, kegiatan semacam ini otomatis memberi laboratorium sosial bagi santri. Mereka langsung berinteraksi dengan masyarakat.

Sebenarnya pesantren dari dulu tidak pernah ada jarak dengan masyarakat, selalu menyatu, dalam bidang dakwah. Bidang dakwah ini selalu terfokus pada ritual. Bidang-bidang di luar ritual belum banyak disentuh. Bukankah harus ada keseimbangan antara ritual dan material? Cobalah bidang di luar ritual itu juga disentuh sebagai bagian dari aplikasi ajaran, dan karena kita dianjurkan untuk juga berikhtiar. Tidak hanya mengharapkan (bantuan), tangan di bawah. Lalu ia mencoba, ia kumpulkan teman-teman, dan mereka setuju. 

dari berbagai sumber, di antaranya PB NU dan Antologi NU

Biografi KH. Hasyim Muzadi

Nama:
KH Achmad Hasyim Muzadi
(KH Hasyim Muzadi)

Lahir:
Bangilan, Tuban, 8 Agustus 1944

Jabatan:
Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (1999-2004 dan 2004-2009)

Pengalaman Penting:
Calon Wakil Presiden Pemilu 2004

Istri:Hj. Mutammimah
Anak:Enam orang (3 putra dan 3 putri)
Ayah:H. Muzadi
Ibu:Hj. Rumyati

Pendidikan:
– Madrasah lbtidaiyah Tuban-Jawa Timur 1950-1953
– SD Tuban-Jawa Timur 1954-1955
– SMPN I Tuban-Jawa Timur 1955-1956
– KMI Gontor, Ponorogo-Jawa Timur 1956-1962
– PP Senori, Tuban-Jawa Timur 1963
– PP Lasem-Jawa Tengah 1963
– IAIN Malang-Jawa Timur 1964-1969
– Bahasa 1972-1982

Kemampuan Bahasa:
Indonesia, Arab, Inggris

Pengalaman Karir:
– Membuka Pesantren Al-Hikam di Jalan Cengger Ayam, Kodya Malang
– Anggota DPRD Kotamadya Malang dari PPP
– Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Malang
– Anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur 1986-1987

Organisasi:
– Ketua Ranting NU Bululawang-Malang, 1964
– Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang-Malang 1965
– Ketua Cabang PMII Malang 1966
– Ketua KAMMI Malang 1966
– Ketua Cabang GP Ansor Malang 1967-1971
– Wakil Ketua PCNU Malang 1971-1973
– Ketua DPC PPP Malang 1973-1977
– Ketua PCNU Malang 1973-1977
– Ketua PW GP Ansor Jawa Timur 1983-1987
– Ketua PP GP Ansor 1987-1991
– Sekretaris PWNU Jawa Timur 1987-1988
– Wakil Ketua PWNU Jawa Timur 1988-1992
– Ketua PWNU Jawa Timur 1992-1999
– Ketua Umum PBNU 1999-2004

– Ketua Umum PBNU 2004-2009

Legislatif:
– Anggota DPRD Tingkat II Malang-Jawa Timur

Publikasi:
– Membangun NU Pasca Gus Dur, Grasindo, Jakarta, 1999.
– NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logo, Jakarta, 1999.
– Menyembuhkan Luka NU, Jakarta, Logos, 2002.

Alamat Kantor:
PBNU Jalan Kramat Raya No 168 Jakarta Pusat

Alamat:
Ponpes Mahasiswa Al Hikam, Malang

Kontrak Jam’iyyah NU
1. Akan taat kepada AD/ART NU, Khittah Nu, Rais Aam dan Keputusan Lembaga Syuriyah.
2. Akan berusaha sekuat tenaga melaksanakan amanat muktamar ke-31 dan keputusan jam’iyyah yang lain.
3. Tidak akan, langsung atau tidak langsung, mengatasnamakan NU, kecuali bersama-sama Rais Aam atau atas dasar keputusan rapat PB NU dan tidak akan bertindak atau mengambil kebijaksanaan sendiri tanpa berkonsultasi dengan Rais Aam.
4. Tidak akan mencalonkan diri untuk jabatan politis, baik di legislatif maupun eksekutif.
NU Bukan Demi Kekuasaan

Kyai kelahiran Tuban, 8 Agustus 1944, ini terpilih kembali untuk periode kedua (2004-2009) sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU). Mantan Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Capres Megawati Soekarnoputri (PDI-P) ini berhasil mengungguli secara mutlak para pesaingnya, termasuk KH Abdurrahman Wahid.

Dalam Muktamar NU ke 31 di Donohudan, Boyolali, Jateng, (28/11-2/12/2004), pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Calon Rais Aam dan Ketua Umum dianggap sah apabila mendapat dukungan minimal 99 suara dari 465 suara.

Peserta muktamar mengajukan enam nama untuk jabatan ketua umum PB NU periode 2004-2009. Dalam pemungutan suara tahap pencalonan, KH Hasyim Muzadi memperoleh 293 suara, KH Masdar F Mas’udi 103 suara, KH Mustofa Bisri (35) Abdul Azis (4), sedangkan Gus Dur dan Tholchah Hasan hanya memperoleh 1 suara. Sehingga dilakukan tahap pemilihan antara KH Hasyim Muzadi 293 suara, KH Masdar F Mas’udi 103. Pada tahap ini KH Hasyim Muzadi mutlak mengungguli KH Masdar F Mas’udi dengan perbandingan suara 334 dan 99.

Ketika menjadi Calon Wakil Presiden, dia nonaktif sebagai Ketua Umum NU. Sejak awal terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar ke-30 di Lirboyo, Kediri, 26 November 1999, dalam menjalankan organisasinya sebagai Ketua Umum, ia memiliki prinsip bahwa NU tidak akan berpolitik praktis dengan mengubah diri menjadi partai politik (parpol). Menurutnya, pengalaman selama 21 tahun sebagai partai politik cukup menyulitkan posisi NU.

Sejak semula dia berpendirian bahwa NU sebagai ormas Islam terbesar dengan jumlah anggota mencapai 45 juta orang, tidak boleh dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat. Kebesaran nama baik NU, bagi Muzadi, tidak boleh dipertaruhkan demi kepentingan kekuasaan.

Pengalaman pahit selama 21 tahun menjadi partai politik periode 1952 sampai 1973, kata Muzadi, menjadi pertimbangan signifikan dari pengurus besar untuk mengubah bentuk organisasi itu. Waktu itu, kata mantan Ketua NU Cabang Malang, ini kerja orang-orang NU hanya memikirkan kursi legis-latif. Sementara kerja NU lainnya seperti usaha memajukan pendidikan dan intelektual umat terabaikan.

Menjelang Pemilu 2004, NU didorong oleh berbagai kelompok untuk menjadi partai politik. Desakan menjadi parpol juga datang dari kelompok dalam NU (kalangan nahdliyin), tetapi sikap NU tidak goyah. Politik merupakan salah satu kiprah dari sekian banyak sayap NU. Di mata Muzadi, partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan dan kepentingan, sementara sifat kekuasaan itu sesaat. Di sisi lain NU dituntut memelihara kelanggengan dan kiprah sosialnya di masyarakat. Oleh karena itu, NU akan menolak setiap upaya perubahan menjadi partai politik.

Pengasuh Ponpes Mahasiswa Al Hikam, Malang, ini dikenal sebagai sosok kiai yang cukup tulus memosisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal nasionalis dan pluralis. Apa saja yang dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan NU, Hasyim ikhlas melakukan.

Ketika terjadi peristiwa ditabraknya gedung WTC 11 September 2001, di mana AS langsung menuduh gerakan Al Qaeda sebagai pelakunya dan menangkapi orang-orang dan kelompok Islam yang diduga terkait dengan jaring Al Qaeda, posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan. Namun hal itu bukan berarti persoalan selesai.

Hasyim Muzadi memiliki pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan perilaku mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan. Untuk itu perlu upaya komunikasi dengan dunia luar secara intensif. Tak terkecuali dengan AS. Makin banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat Indonesia dengan internasional dan AS, itu makin positif. Apalagi, di tengah keterpurukan ekonomi, sosial, dan keamanan di Indonesia saat ini, kerja sama internasional jauh lebih berfaedah daripada keterasingan internasional.

Hasyim Muzadi pun menjadi tokoh yang mendapat tempat diundang pemerintah AS untuk memberi penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat gambaran itu langsung dari ormas muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga bersyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan soal-soal Islam Indonesia kepada pihak luar.

“Saya gambarkan, umat Islam di Indonesia itu pada dasarnya moderat, bersifat kultural, dan domestik. Tak kenal jaringan kekerasan internasional,�? ujar Hasyim.

Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia-betapapun jumlah dan kekuatannya cuma segelintir-Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya harus tidak sembarangan. Jangan sekali-kali menggunakan represi. Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,�? tutur Hasyim.

Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,” tutur Hasyim.

Di sisi lain, AS sadar perlunya menggalang pengertian dan kerja sama dengan Islam moderat di dunia. Di AS sendiri, ada sekitar 5 juta penganut Islam dan kini menjadi agama yang paling cepat pertumbuhannya dibandingkan agama-agama lain.

Muzadi juga mengakui, pejabat AS memang memiliki pandangan sendiri tentang masa depan, dunia Islam, dan terorisme. Namun banyak senator AS yang berharap Indonesia menjadi komunitas muslim yang pada masa depan bisa bersahabat dengan dunia. “Itu istilahnya mereka,�? katanya. Sedangkan ukuran AS adalah Indonesia bisa mengatur diri, sehingga tak menjadi sarang “kekerasan.” Namun, menurut Muzadi, yang cukup menggembirakan adalah tidak ada rencana AS sedikit pun untuk menyerang Indonesia.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi, resmi menjadi calon wakil presiden mendampingi Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Sukarnoputri pada Pemilu 2004. Kyai kelaharian Tuban, 8 Agustus 1944, ini menyatakan kiranya ia bisa berperan demi kesejahteraan bangsa, antara lain dalam rangka pemberantasan korupsi.

Pendeklarasian pasangan Capres-Cawapres ini dilakukan di pelataran Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis 6 Mei 2004. Proses penetapan pasangan ini, menurut Hasyim dan Mega, sudah dirintis sejak enam bulan lalu, saat Megawati berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang yang dipimpin Hasyim Muzadi.