Biografi KH. Abdullah Faqih Langitan

Pondok Pesantren Langitan itu berada di bawah jembatan jalan raya Babat Lamongan jurusan Tuban, Jawa Timur. Tepatnya di Desa Widang. Sepintas, dari jalan raya memang tidak tampak pesantren, karena tertutup perkampungan. Tapi begitu masuk, terasalah denyut kehidupan pesantren yang berada di atas areal sekitar 6 hektar itu.

Meskipun termasuk pesantren salaf [1], kebersihan lingkungannya tampak sangat terjaga. Apalagi, beberapa pohon mangga dan jambu dibiarkan tumbuh subur, hingga memberi rasa teduh. Agak masuk ke dalam, ada sebuah rumah kecil terbuat dari kayu berwarna janur kuning, sederet dengan asrama santri dan rumah pengasuh lain. Di situlah KH Abdullah Faqih (67), tokoh yang sangat disegani di kalangan NU, tinggal.

Di belakang rumah itu memang ada bangunan berlantai dua. Tapi, menurut keterangan salah seorang santrinya, gedung itu untuk tinggal putri-putrinya. “Kiai sendiri tetap tinggal di di rumah kayu itu,” kata santri yang tak mau disebut namanya.

Berukuran sekitar 7×3 meter, di dalamnya ada seperangkat meja kursi kuno dan dua almari berisi kitab-kitab. Lantainya dilambari karpet. Ada juga kaligrafi dan dua jam dinding. Itu saja. Dan di situ pula Kiai Faqih —panggilan akrabnya— menerima tamu-tamunya. Baik dari kalangan bawah, pengurus NU, maupun pejabat. Menteri Agama Tolchah Hasan, awal Desember lalu, adalah salah satu di antara pejabat yang pernah sowan ke kiai yang sangat berpengaruh di kalangan NU ini. Hasyim Muzadi, Ketua Umum PBNU yang baru, juga termasuk tokoh yang rajin sowan ke Kiai Faqih.

Nama Kiai Faqih mencuat menjelang SU MPR lalu, terutama berkaitan dengan pencalonan KH Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Saat itu di tubuh kaum Nahdliyin terjadi perbedaan, ada yang mendukung pencalonan Gus Dur —demikian mantan ketua PBNU itu populer dipanggil— yang dipelopori kelompok Poros Tengah, dan ada yang bersikap sebaliknya. Sementara dua kandidat utama yakni BJ Habibie dan Megawati sama-sama mengandung risiko cukup tinggi, terutama para pendukung fanatiknya. Menghadapi situasi seperti itu, beberapa kiai sepuh NU mengadakan beberapa pertemuan di Pondok Pesantren Langitan. Dari sinilah kemudian muncul istilah `Poros Langitan’, karena memang suara para kiai itu sangat berpengaruh kepada pencalonan Gus Dur.

Toh beberapa hari menjelang pemilihan presiden, restu para kiai itu belum turun juga. Hingga akhirnya dua hari menjelang pemilihan presiden, Hasyim Muzadi (sekarang ketua PBNU) datang menemui Gus Dur, membawa pesan Kiai Faqih. Pesannya adalah pertama, kalau memang Gus Dur maju, ulama akan mendo’akan. Kedua, Gus Dur harus menjaga keutuhan di tubuh PKB yang saat itu sudah mulai retak. Dan ketiga, menjaga hubungan baik warga NU dengan warga PDI-Perjuangan.

Begitu gembira mendengar restu itu, Gus Dur berdiri memeluk Hasyim Muzadi sembari meneteskan air mata. Dengan isak tangis cucu pendiri NU KH Hasyim Asy’ari ini berkata, “Sampaikan salam hormat saya kepada Kiai (Faqih). Katakan, Abdurrahman sampai kapanpun tetap seorang santri yang patuh kepada ucapan kiai.”

Siapa sesungguhnya Kiai Faqih, kok Gus Dur yang begitu dipuja orang-orang di NU itu begitu hormatnya? Publik selama ini tidak banyak tahu, karena Kiai yang mengasuh sekitar 3000 santri ini memang tidak suka publikasi. Banyak wartawan yang ingin wawancara dengan Kiai Faqih, semuanya pulang dengan tangan hampa. “Kami memang mendapat pesan, Kiai tidak bersedia menerima wartawan,” ujar salah seorang pengurus pesantren.

Di kalangan NU dikenal istilah kiai khos atau kiai utama. Ada syarat tertentu sebelum seorang kiai masuk kategori khos. Antara lain, mereka harus mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Dengan kata lain, mereka sudah memiliki kemampuan waskita. Nah, Kiai Faqih termasuk dalam kategori kiai waskita itu. Tentu saja organisasi sebesar NU punya banyak kiai khos. Tapi, Kiai Faqihlah yang kerap jadi rujukan utama di kalangan Nahdliyin, baik itu PBNU maupun PKB, terutama menyangkut kepentingan publik. Hal itu dibenarkan Effendy Choirie, salah satu petinggi DPP PKB. “Rasanya memang begitu,” ujarnya.

Di mata Gus Dur sendiri, Kiai Faqih adalah seorang wali. “Namun, kewalian beliau bukan lewat thariqat atau tasawuf, justru karena kedalaman ilmu fiqhnya,” kata Gus Dur yang kini jadi Presiden, sebagaimana ditirukan Choirie. Kedekatan Gus Dur dengan Kiai Faqih, kabarnya mulai Muktamar NU di Cipayung dulu. Contoh begitu hormatnya ketua Forum Demokrasi (Fordem) itu kepada Kiai Faqih, adalah ketika ia meminta Gus Dur mencium tangan KH Yusuf Hasyim, pamannya, pada acara tasyakuran atas membaiknya kesehatan mata Gus Dur, satu bulan sebelum SU MPR. Tanpa banyak cakap, putra KH Wakhid Hasyim ini manut saja. Maka rujuklah dua bangsawan Bani Hasyim yang sudah bertahun-tahun `bermusuhan’.

Kiai Faqih lahir di Dusun Mandungan Desa Widang, Tuban. Saat kecil ia lebih banyak belajar kepada ayahandanya sendiri, KH Rofi’i Zahid, di Pesantren Langitan. Ketika besar ia nyantri pada Mbah Abdur Rochim di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tapi tidak lama.

Sebagaimana para kiai tempo dulu, Faqih juga pernah tinggal di Makkah, Arab Saudi. Di sana ia belajar kepada Sayid Alwi bin Abbas Al-Maliki, ayahnya Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Rupanya selama di Arab Saudi Faqih punya hubungan khusus dengan Sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki. Buktinya, setiap kali tokoh yang amat dihormati kalangan kiai di NU itu berkunjung ke Indonesia, selalu mampir ke Pesantren Langitan. “Sudah 5 kali Sayid Muhammad ke sini,” tambah salah seorang pengurus Langitan.

Pesantren Langitan memang termasuk pesantren tua di Jawa Timur. Didirikan l852 oleh KH Muhammad Nur, asal Desa Tuyuban, Rembang, Langitan dikenal sebagai pesantren ilmu alat. Para generasi pertama NU pernah belajar di pesantren yang terletak di tepi Bengawan Solo yang melintasi Desa Widang (dekat Babat Lamongan) ini. Antara lain KH Muhammad Cholil (Bangkalan), KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, KH Syamsul Arifin (ayahnya KH As’ad Syamsul Arifin), dan KH Shiddiq (ayahnya KH Ahmad Shiddiq).

Kiai Faqih (generasi kelima) memimpin Pesantren Langitan sejak l971, menggantikan KH Abdul Hadi Zahid yang meninggal dunia karena usia lanjut. Kiai Faqih didampingi KH Ahmad Marzuki Zahid, yang juga pamannya.

Di mata para santrinya, Kiai Faqih adalah tokoh yang sederhana, istiqomah dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam shalat lima waktu misalnya, ia selalu memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan. “Tak jarang beliau mencincingkan sarungnya, membersihkan sendiri daun jambu di halaman,” tutur Choirie yang pernah menjadi santri Langitan selama 7 tahun.

Meski tetap mempertahankan ke-salaf-annya, pada era Kiai Faqih inilah Pesantren Langitan lebih terbuka. Misalnya, ia mendirikan Pusat Pelatihan Bahasa Arab, kursus komputer, mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) dan Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA). Dalam hal penggalian dana, ia membentuk Badan Usaha Milik Pondok berupa toko induk, kantin, dan wartel.

Lebih dari itu lagi, ayah 12 orang anak buah perkawinannya dengan Hj Hunainah ini juga mengarahkan pesantrennya agar lebih dekat dengan masyarakat. Di antaranya ia mengirim da’i ke daerah-daerah sulit di Jawa Timur dan luar Jawa. Setiap Jum’at ia juga menginstruksikan para santrinya shalat Jum’at di kampung-kampung. Lalu membuka pengajian umum di pesantren yang diikuti masyarakat luas.

Dalam hubungan dengan pemerintah Orde Baru, Kiai Faqih sangat hati-hati. Meski tetap menjaga hubungan baik, ia tidak mau terlalu dekat dengan penguasa, apalagi menengadahkan tangan minta bantuan, sekalipun untuk kepentingan pesantrennya. Bahkan, tak jarang, ia menolak bantuan pejabat atau siapapun, bila ia melihat di balik bantuan itu ada `maunya’. Mungkin, karena inilah perkembangan pembangunan fisik Langitan termasuk biasa-biasa saja. Moeslimin Nasoetion, saat menjabat Menteri Kehutanan dan Perkebunan dan berkunjung ke Langitan pernah berucap, “Saya heran melihat sosok Kiai Abdullah Faqih. Kenapa tidak mau membangun rumah dan pondoknya? Padahal, jika mau, tidak sedikit yang mau memberikan sumbangan.”

Tetapi bila terpaksa menerima, ini masih kata Effendy Choirie, bantuan itu akan dimanfaatkan fasilitas umum di mana masyarakat juga turut menikmatinya. Kiai Faqih, kata Choirie, juga tak pernah mengundang para pejabat bila pesantrennya atau dirinya punya hajat. “Tetapi kalau didatangi, beliau akan menerima dengan tangan terbuka,” tambah Choirie yang pernah menggeluti profesi wartawan ini.

Di mata anggota DPR ini, Kiai Faqih adalah sosok yang berpikir jernih dan sangat hati-hati dalam setiap hendak melangkah atau mengambil keputusan. Pernah pada suatu kesempatan, Gus Dur ingin sowan (menghadap) ke Langitan. Demi menghindari munculnya spekulasi yang macam-macam, apalagi saat itu menjelang pemilihan presiden, Kiai Faqih menolak. Justru dialah yang menemui Gus Dur di Jombang, saat Gus Dur berziarah ke makam kakeknya.

sumber : http://www.hidayatullah.com

Biografi KH. Hamim Tohari Jazuli (Gus Miek)

KH Hamim Tohari Djazuli atau akrab dengan panggilan Gus Miek lahir pada 17 Agustus 1940,beliau adalah putra KH. Jazuli Utsman (seorang ulama sufi dan ahli tarikat pendiri pon-pes Al Falah mojo Kediri),Gus Miek salah-satu tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dan pejuang Islam yang masyhur di tanah Jawa dan memiliki ikatan darah kuat dengan berbagai tokoh Islam ternama, khususnya di Jawa Timur.

Maka wajar, jika Gus Miek dikatakan pejuang agama yang tangguh dan memiliki kemampuan yang terkadang sulit dijangkau akal. Selain menjadi pejuang Islam yang gigih, dan pengikut hukum agama yang setia dan patuh, Gus Miek memiliki spritualitas atau derajat kerohanian yang memperkaya sikap, taat, dan patuh terhadap Tuhan. Namun, Gus Miek tidak melupakan kepentingan manusia atau intraksi sosial (hablum minallah wa hablum minannas). Hal itu dilakukan karena Gus Miek mempunyai hubungan dan pergaulan yang erat dengan (alm) KH. Hamid Pasuruan, dan KH. Achmad Siddiq, serta melalui keterikatannya pada ritual ”dzikrul ghafilin” (pengingat mereka yang lupa). Gerakan-gerakan spritual Gus Miek inilah, telah menjadi budaya di kalangan Nahdliyin (sebutan untuk warga NU), seperti melakukan ziarah ke makam-makam para wali yang ada di Jawa maupun di luar Jawa.Hal terpenting lain untuk diketahui juga bahwa amalan Gus Miek sangatlah sederhana dalam praktiknya. Juga sangat sederhana dalam menjanjikan apa yang hendak didapat oleh para pengamalnya, yakni berkumpul dengan para wali dan orang-orang saleh, baik di dunia maupun akhirat.
ayah gus mik KH.Achmad djazuli Usman
KH.ACHMAD DJAZULI USMAN
Gus Miek seorang hafizh (penghapal) Al-Quran. Karena, bagi Gus Miek, Al-Quran adalah tempat mengadukan segala permasalahan hidupnya yang tidak bisa dimengerti orang lain. Dengan mendengarkan dan membaca Al-Quran, Gus Miek merasakan ketenangan dan tampak dirinya berdialog dengan Tuhan ,beliaupun membentuk sema’an alquran dan jama’ah Dzikrul Ghofilin.
gus miek selain dikenal sebagai seorang ulama besar juga dikenal sebagai orang yang nyelenehbeliau lebih menyukai da’wah di kerumunan orang yang melakukan maksiat seperti discotiq ,club malam dibandingkan dengan menjadi seorang kyai yang tinggal di pesantren yang mengajarkan santrinya kitab kuning. hampir tiap malam beliau menyusuri jalan-jalan di jawa timur keluar masuk club malam, bahkan nimbrung dengan tukang becak, penjual kopi di pinggiran jalan hanya untuk memberikan sedikit pencerahan kepada mereka yang sedang dalam kegelapan. Ajaran-ajaran beliau yang terkenal adalah suluk jalan terabas atau dalam bahasa indonesianya pemikiran jalan pintas.
Pernah di ceritakan Suatu ketika Gus Miek pergi ke discotiq dan disana bertemu dengan Pengunjung yang sedang asyik menenggak minuman keras, Gus Miek menghampiri mereka dan mengambil sebotol minuman keras lalu memasukkannya ke mulut Gus Miek salah satu dari mereka mengenali Gus Miek dan bertanya kepada Gus Miek.” Gus kenapa sampeyan ikut Minum bersama kami ? sampeyankan tahu ini minuman keras yang diharamkan oleh Agama ? lalu Gus Miek Menjawab “aku tidak meminumnya …..!! aku hanya membuang minuman itu kelaut…!hal ini membuat mereka bertanya-tanya, padahal sudah jelas tadi Gus Miek meminum minuman keras tersebut. Diliputi rasa keanehan ,Gus miek angkat bicara “sampeyan semua ga percaya kalo aku tidak meminumnya tapi membuangnya kelaut..? lalu Gus Miek Membuka lebar Mulutnya dan mereka semua terperanjat kaget didalam Mulut Gus miek terlihat Laut yang bergelombang dan ternyata benar minuman keras tersebut dibuang kelaut. Dan Saat itu juga mereka diberi Hidayah Oleh Alloh SWt untuk bertaubat dan meninggalkan minum-minuman keras yang dilarang oleh agama. Itulah salah salah satu Karomah kewaliyan yang diberikan Alloh kepada Gus Miek.
jika sedang jalan-jalan atau keluar, Gus Miek sering kali mengenakan celana jeans dan kaos oblong. Tidak lupa, beliau selalu mengenakan kaca mata hitam lantaran lantaran beliau sering menangis jika melihat seseorang yang “masa depannya” suram dan tak beruntung di akherat kelak.
Ketika beliau berda’wak di semarang tepatnya di NIAC di pelabuhan tanjung mas.Niac adalah surga perjudian bagi para cukong-cukong besar baik dari pribumi maupun keturunan ,Gus Miek yang masuk dengan segala kelebihannya mampu memenangi setiap permainan, sehingga para cukong-cukong itu mengalami kekalahan yang sangat besar. Niac pun yang semula menjadi surga perjudian menjadi neraka yang sangat menakutkan
Satu contoh lagi ketika Gus miek berjalan-jalan ke Surabaya, ketika tiba di sebuah club malam Gus miek masuk kedalam club yang di penuhi dengan perempuan-perempuan nakal, lalu gus miek langsung menuju watries (pelayan minuman) beliau menepuk pundak perempuan tersebut sambil meniupkan asap rokok tepat di wajahnya, perempuan itupun mundur tapi terus di kejar oleh Gus miek sambil tetap meniupkan asap rokok diwajah perempuan tersebut. Perempuan tersebut mundur hingga terbaring di kamar dengan penuh ketakutan, setelah kejadian tersebut perempuan itu tidak tampak lagi di club malam itu.
Pernah suatu ketika Gus Farid (anak KH.Ahamad Siddiq yang sering menemani Gus Miek) mengajukan pertanyaan yang sering mengganjal di hatinya, pertama bagaimana perasaan Gus Miek tentang Wanita ? “Aku setiap kali bertemu wanita walaupun secantik apapun dia dalam pandangan mataku yang terlihat hanya darah dan tulang saja jadi jalan untuk syahwat tidak ada”jawab Gus miek.
Pertanyaan kedua Gus Farid menayakan tentang kebiasaan Gus Miek memakai kaca mata hitam baik itu dijalan maupun saat bertemu dengan tamu…”Apabila aku bertemu orang dijalan atau tamu aku diberi pengetahuaan tentang perjalanan hidupnya sampai mati. Apabila aku bertemu dengan seseorang yang nasibnya buruk maka aku menangis, maka aku memakai kaca mata hitam agar orang tidak tahu bahwa aku sedang menagis “jawab Gus miek
Adanya sistem Da’wak yang dilakukan Gus miek tidak bisa di contoh begitu saja karena resikonya sangat berat bagi mereka yang Alim pun Sekaliber KH.Abdul Hamid (pasuruan) mengaku tidak sanggup melakukan da’wak seperti yang dilakukan oleh Gus Miek padahal Kh.Abdul Hamid juga seorang waliyalloh.
Tepat tanggal 5 juni 1993 Gus Miek menghembuskan napasnya yang terakhir di rumah sakit Budi mulya Surabaya (sekarang siloam). Kyai yang nyeleneh dan unik akhirnya meninggalkan dunia dan menuju kehidupan yang lebih abadi dan bertemu dengan Tuhannya yang selama ini beliau rindukan.
sumber:
http://alhidayahkroya.blogspot.com

Biografi KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz

Pendobrak Pemikiran Tradisional NU 

Sosoknya sangat bersahaja. Bicaranya tenang, lugas, tidak berpretensi mengajari. Padahal KH Muhammad Achmad Sahal Mahfudz sangat disegani. Dia dua periode menjabat Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (1999-2009) dan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2000-2010.

Pada Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII (28/7/2005) Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), itu terpilih kembali untuk periode kedua menjabat Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) masa bakti 2005-2010.

Pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) di Donohudan, Boyolali, Jateng., Minggu (28/11-2/12/2004), dia pun dipilih untuk periode kedua 2004-2009 menjadi Rais Aam Syuriah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU).

Pada 26 November 1999, untuk pertama kalinya dia dipercaya menjadi Rais Aam Syuriah PB NU, mengetuai lembaga yang menentukan arah dan kebijaksanaan organisasi kemasyarakatan yang beranggotakan lebih 30-an juta orang itu.

KH Sahal yang sebelumnya selama 10 tahun memimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, juga didaulat menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan MUI pada Juni 2000 sampai tahun 2005.

Di luar itu, KH Sahal adalah pemimpin Pondok Pesantren (Ponpes) Maslakul Huda sejak tahun 1963. Ponpes di Kajen Margoyoso, Pati, Jawa Tengah, ini didirikan ayahnya, KH Mahfudz Salam, tahun 1910.

Dalam Muktamar NU ke-31 di Bayolali itu, pemilihan Rois Aam dan Ketua Umum, sesuai tata tertib syogianya dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Calon Rais Aam dan Ketua Umum dianggap sah apabila mendapat dukungan minimal 99 suara dari 465 suara muktamirin. Apabila hanya ada satu calon yang mencapai minimal 99 suara, calon tersebut bisa disahkan secara bulat atau aklamasi.

Dalam tahap pencalonan Rais Aam pada Muktamar NU ke-31, ini peserta muktamar mengajukan tujuh nama. Setelah dilakukan pemungutan dan penghitungan suara, KH Sahal Mahfudh mendapat 363 suara, KH Abdurrahman Wahid 75 suara, KH Hasyim Muzadi 5 suara, Said Agil Siradj 1 suara, Alwi Shihab 2 suara, KH Mustofa Bisri 3 suara, dan Rahman S 1 suara. Satu suara abstain dan satu suara tidak sah. Sehingga sesuai tata tertib, peserta muktamar secara aklamasi menerima Sahal Mahfudh sebagai Rais Aam.

Pertama kali, KH Sahal Mahfudz terpilih sebagai Ketua Rais Aam dalam Muktamar XXX NU di Lirboyo, Kediri, 26 November 1999. Ketika itu KH Sahal antara lain mengatakan, sejak awal berdirinya NU, warga NU yang merupakan bagian dari masyarakat madani berada pada kutub yang berseberangan dengan negara, dan KH Sahal mencoba mempertahankan tradisi tersebut. Saat itu, konteksnya adalah naiknya KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI.

Pemimpin Ponpes Maslakul Huda, Rais Aam PB NU dan Ketua Umum MUI, KH Sahal dikenal sebagai pendobrak pemikiran tradisional di kalangan NU yang mayoritas berasal dari kalangan akar rumput. Dia juga tidak sependapat dengan adanya keinginan sebagian orang untuk menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Menurutnya, hal itu tidak perlu. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, tidak berarti perlu piagam. “Argumentasi itu malah ironis. Karena mayoritas sudah Muslim, maka mayoritas sudah akan melaksanakan syariat Islam sendiri-sendiri. Bila memang harus diatur pemerintah, yang kena aturan itu hanya orang Islam saja,” katanya.

Dia pun menyatakan pemerintah tidak perlu ikut campur dalam hal agama. Menurutnya, pemerintah sebagai pengayom memang bertanggung jawab, berhak, dan berkewajiban membina, memberi fasilitas untuk semua agama, tetapi jangan intervensi terlalu jauh sebab itu hubungan manusia dengan Tuhan.
Alasannya, katanya, agama itu tidak berorientasi pada kekuasaan, tidak ingin agama lebih dominan dari agama, tetapi juga negara jangan lebih dominan dari agama, memakai agama sebagai justifikasi. Agama itu harus mandiri.

Sementara perihal Pancasila, dia menyatakan itu bukan ciri, tetapi visi. “Identitas artinya ciri intrinsik yang melekat pada sesuatu yang dicirikan. Identitas bangsa banyak dibicarakan orang, tetapi tidak banyak dikupas. Bila identitas bangsa sudah ditetapkan, daerah boleh memiliki ciri khasnya dengan koridornya tetap identitas bangsa.

Dia mencontohkan daerah yang mayoritasnya Muslim yang ingin menerapkan ciri khas Islam, itu tidak mudah. Hal itu, menurutnya, perlu persiapan panjang karena setelah syariat semuanya harus tunduk pada syariat Islam. Sebab, bagaimana dengan penduduk yang bukan Muslim? Apa hukum yang dipakai untuk mereka? Bila hal ini tidak jelas, akan menimbulkan konflik, ada isolasi karena perbedaan agama. Menurutnya, ini tidak boleh, karena keragaman agama itu juga dibenarkan oleh Islam.

Begitu pula soal globalisasi. Menurutnya, hal itu keniscayaan. “Siapa bisa menolak?’ tanyanya. Globalisasi , jelasnya, akan menimbulkan perubahan sikap hidup dan peri laku masyarakat. Sementara, di Indonesia sekarang yang menonjol konsumtivisme. Ini, antara lain, dampak iklan. Dalam hal ini, serunya, mental secara ekonomis harus ditanamkan. Mental ekonomis yang bagus itu seperti mental singkek, pedagang Cina yang ulet. Dia sama sekali tidak konsumtif melainkan hemat, dari nol, setelah kaya pun tidak menyombongkan kekayaannya, ulet.

KH Sahal dilahirkan di Pati 17 Desember 1937. Hampir seluruh hidupnya dijalani di pesantren, mulai dari belajar, mengajar dan mengelolanya. KH Sahal hanya pernah menjalani kursus ilmu umum antara 1951-1953, sebelum mondok di Pesantren Bendo, Kediri (JAtim), Sarang, Rembang (Jateng), lalu tinggal di Mekkah selama tiga tahun.

Sikap demokratisnya menonjol dan dia mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi dan kesehatan.

Selain memiliki 500-an santri, Ponpes Maslakul Huda juga punya sekolah madrasah ibtidaiyah sampai madrasah aliyah dengan 2.500-an murid, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Arta Huda Abadi yang lima tahun lalu berdiri, koperasi, rumah sakit (RS) umum kelas C RS Islam Pati, memberi kredit tanpa bunga kelompok usaha mikro dengan dana bergulir, mengajar masyarakat membuat “asuransi” kesehatan dengan menabung setiap rumah tangga tiap bulan di kelompoknya, dan banyak lagi.

KH Sahal yang menikah dengan Dra Hj Nafisah Sahal dan berputra Abdul Ghofar Rozin (23), dilahirkan di Kajen, Pati, pada tanggal 17 Desember 1937. KH Sahal juga seorang intelektual yang ditunjukkan melalui tulisannya antara lain buku-buku Al Faroidlu Al Ajibah (1959), Intifakhu Al Wadajaini Fie Munadohorot Ulamai Al Hajain (1959), Faidhu Al Hijai (1962), Ensiklopedi Ijma’ (1985), Pesantren Mencari Makna, Nuansa Fiqih Sosial, dan Kitab Usul Fiqih (berbahasa Arab), selain masih menulis kolom Dialog dengan Kiai Sahal di harian Duta Masyarakat yang isinya menjawab pertanyaan masyarakat.

KH Sahal yang punya koleksi 1.800-an buku di rumahnya di Kajen, sudah lebih 10 tahun menjadi Rektor Institut Islam NU di Jepara.

BPR Arta Huda Abadi
Di pesantren ia punya lembaga khusus, Biro Pengembangan Pesantren dan Masyarakat, berdiri tahun 1977 sampai sekarang, yang menangani pengembangan masyarakat dari sisi menciptakan pendapatan, kesehatan, dan pendidikan.
Mula-mula membina perajin kerupuk yang di sana disebut kerupuk tayamum karena digoreng pakai pasir.

Hampir seluruh tetangga pesantrennya pada tahun 1977 itu bikin kerupuk. Modalnya Rp 5.000, itu pun sudah terlalu banyak. Ia beri pinjaman bergulir tak berbunga. Modalnya dari saldo kegiatan internal pesantren seperti kegiatan belajar-mengajar, dari SPP, sedikit demi sedikit dikumpulkan.

Ia jua memberikan kepada kelompok supaya ada kerja bersama, kerja kooperatif, karena mereka terlalu gurem. Mereka mencicil tiap minggu, setelah terkumpul Rp 5.000 diberikan kepada kelompok baru. Usaha mereka berkembang dan kemudian banyak yang merasa usaha itu terlalu kecil. Mereka pindah usaha. Karena usaha mereka semakin besar, perlu dana lebih banyak. Lalu ia mencoba membantu dengan mendirikan BPR Arta Huda Abadi pada tahun 1997.

Modal awalnya pada masa itu cukup Rp 50 juta, juga dikumpulkan dari dana pesantren sendiri yang merupakan pemegang saham terbesar, tetapi BPR juga melibatkan alumni pesantren yang berminat mengembangkan BPR ini.

Tahun 2002 asetnya sudah lebih dari Rp 10 milyar, dan terus berkembang. Sudah punya kas pembantu di Kota Juwana, Kota Pati, dan daerah perbatasan Jepara-Pati. Kantor pusatnya di Kajen, di dekat pesantren Maslakul Huda.

Pesantren juga punya koperasi yang sudah lima bulan mengembangkan Unit Simpan-Pinjam Syariah yang sistem simpan-pinjamnya bagi hasil. Di daerah sekitar Pati, ini adalah koperasi syariah pertama. Modalnya juga berbentuk saham milik pesantren, staf koperasi, dan alumni. Wartel pun sahamnya kami bagi-bagi, tidak cuma pesantren. Prinsipnya, rezeki itu jangan dipek (dihaki) sendiri.

Ketika ada program Jaring Pengaman Sosial saat krisis ekonomi tahun 1997-1998, ada bantuan beras dari Jepang. Pesantren Maslakul Huda termasuk yang kebagian jatah membagi beras untuk orang miskin. Ia terima, dengan syarat tidak mau hanya membagi. Bila hanya membagi akan membuat mereka jadi lebih tergantung.

Maka ia meminta mereka membentuk kelompok, tiap sepuluh keluarga jadi satu kelompok. Ada kira-kira 176 kelompok. Setiap keluarga dalam kelompok diminta menabung setiap hari, besarnya terserah kesepakatan anggota kelompok. Rata-rata per keluarga bisa menabung Rp 1.000 per hari. Itu tabungan milik mereka, mereka urus sendiri, dan setor sendiri ke BPR atas nama kelompok.

Setelah proyek selesai dalam tiga bulan, masing-masing kelompok rata-rata punya tabungan Rp 900.000. Ini lalu dipakai modal usaha kelompok. Jumlahnya ratusan kelompok, kebanyakan ibu-ibu.

Ketika pihak Jepang dilapori, mereka terkejut. Lalu mereka bertanya, apa keinginannya selanjutnya. Ia katakan, ingin mereka dibina sebagai kelompok usaha. Pihak Jepang bersedia membantu biaya pelatihan Rp 500.000 per kelompok. Pelatihan disesuaikan kebutuhan kelompok, tetapi rata-rata minta pelatihan pembukuan keuangan karena akan berhubungan dengan bank nantinya.

Selesai dilatih, pihak Jepang masih menambah bantuan Rp 500.000 per kelompok untuk modal. Jadi, tiap kelompok rata-rata punya Rp 1,4 juta, kalau dipakai untuk kulakan bayam uangnya sudah bisa bergulir.

Ada kelompok perkebunan, ada kelompok rambutan binjai. Di sana rambutan binjai tumbuh bagus dan sudah panen berkali-kali. Ada kelompok tani kacang tanah yang memasok ke Kacang Garuda karena kami punya kerja sama. Lalu ada kelompok tani singkong tepung tapioka.

Pesantren hanya memotivasi dan membimbing, tetapi untuk yang teknis pesantren memanggil ahlinya. Misalnya, untuk pengolahan limbah cair tapioka, mengundang Universitas Diponegoro.

Dalam membina petani tersebut, pesantren menggunakan pendekatan dari bawah. Ditelusuri apa kebutuhan dasar mereka dengan bertemu dengan tokoh masyarakat, dan mencari tahu apa kesulitan mereka. Lalu dicarikan solusi, kemudian didiskusikan dengan masyarakat. Pendekatannya begitu. Ia mau masyarakat berdiskusi terbuka, dan mereka juga menyampaikan pikirannya. Tidak cuma inggih-inggih.

Ia memang tidak hanya mengurusi pesantren. Tetapi juga sangat peduli kepada kepentingan masyarakat luas di luar pesantren. Menurutnya, hal itu aplikasi ajaran Islam bahwa manusia yang terbaik adalah yang banyak memberikan manfaat untuk orang lain. Selain itu, kegiatan semacam ini otomatis memberi laboratorium sosial bagi santri. Mereka langsung berinteraksi dengan masyarakat.

Sebenarnya pesantren dari dulu tidak pernah ada jarak dengan masyarakat, selalu menyatu, dalam bidang dakwah. Bidang dakwah ini selalu terfokus pada ritual. Bidang-bidang di luar ritual belum banyak disentuh. Bukankah harus ada keseimbangan antara ritual dan material? Cobalah bidang di luar ritual itu juga disentuh sebagai bagian dari aplikasi ajaran, dan karena kita dianjurkan untuk juga berikhtiar. Tidak hanya mengharapkan (bantuan), tangan di bawah. Lalu ia mencoba, ia kumpulkan teman-teman, dan mereka setuju. 

dari berbagai sumber, di antaranya PB NU dan Antologi NU

Biografi KH. Hasyim Muzadi

Nama:
KH Achmad Hasyim Muzadi
(KH Hasyim Muzadi)

Lahir:
Bangilan, Tuban, 8 Agustus 1944

Jabatan:
Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (1999-2004 dan 2004-2009)

Pengalaman Penting:
Calon Wakil Presiden Pemilu 2004

Istri:Hj. Mutammimah
Anak:Enam orang (3 putra dan 3 putri)
Ayah:H. Muzadi
Ibu:Hj. Rumyati

Pendidikan:
– Madrasah lbtidaiyah Tuban-Jawa Timur 1950-1953
– SD Tuban-Jawa Timur 1954-1955
– SMPN I Tuban-Jawa Timur 1955-1956
– KMI Gontor, Ponorogo-Jawa Timur 1956-1962
– PP Senori, Tuban-Jawa Timur 1963
– PP Lasem-Jawa Tengah 1963
– IAIN Malang-Jawa Timur 1964-1969
– Bahasa 1972-1982

Kemampuan Bahasa:
Indonesia, Arab, Inggris

Pengalaman Karir:
– Membuka Pesantren Al-Hikam di Jalan Cengger Ayam, Kodya Malang
– Anggota DPRD Kotamadya Malang dari PPP
– Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Malang
– Anggota DPRD Tingkat I Jawa Timur 1986-1987

Organisasi:
– Ketua Ranting NU Bululawang-Malang, 1964
– Ketua Anak Cabang GP Ansor Bululawang-Malang 1965
– Ketua Cabang PMII Malang 1966
– Ketua KAMMI Malang 1966
– Ketua Cabang GP Ansor Malang 1967-1971
– Wakil Ketua PCNU Malang 1971-1973
– Ketua DPC PPP Malang 1973-1977
– Ketua PCNU Malang 1973-1977
– Ketua PW GP Ansor Jawa Timur 1983-1987
– Ketua PP GP Ansor 1987-1991
– Sekretaris PWNU Jawa Timur 1987-1988
– Wakil Ketua PWNU Jawa Timur 1988-1992
– Ketua PWNU Jawa Timur 1992-1999
– Ketua Umum PBNU 1999-2004

– Ketua Umum PBNU 2004-2009

Legislatif:
– Anggota DPRD Tingkat II Malang-Jawa Timur

Publikasi:
– Membangun NU Pasca Gus Dur, Grasindo, Jakarta, 1999.
– NU di Tengah Agenda Persoalan Bangsa, Logo, Jakarta, 1999.
– Menyembuhkan Luka NU, Jakarta, Logos, 2002.

Alamat Kantor:
PBNU Jalan Kramat Raya No 168 Jakarta Pusat

Alamat:
Ponpes Mahasiswa Al Hikam, Malang

Kontrak Jam’iyyah NU
1. Akan taat kepada AD/ART NU, Khittah Nu, Rais Aam dan Keputusan Lembaga Syuriyah.
2. Akan berusaha sekuat tenaga melaksanakan amanat muktamar ke-31 dan keputusan jam’iyyah yang lain.
3. Tidak akan, langsung atau tidak langsung, mengatasnamakan NU, kecuali bersama-sama Rais Aam atau atas dasar keputusan rapat PB NU dan tidak akan bertindak atau mengambil kebijaksanaan sendiri tanpa berkonsultasi dengan Rais Aam.
4. Tidak akan mencalonkan diri untuk jabatan politis, baik di legislatif maupun eksekutif.
NU Bukan Demi Kekuasaan

Kyai kelahiran Tuban, 8 Agustus 1944, ini terpilih kembali untuk periode kedua (2004-2009) sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU). Mantan Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Capres Megawati Soekarnoputri (PDI-P) ini berhasil mengungguli secara mutlak para pesaingnya, termasuk KH Abdurrahman Wahid.

Dalam Muktamar NU ke 31 di Donohudan, Boyolali, Jateng, (28/11-2/12/2004), pemilihan Rais Aam dan Ketua Umum dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Calon Rais Aam dan Ketua Umum dianggap sah apabila mendapat dukungan minimal 99 suara dari 465 suara.

Peserta muktamar mengajukan enam nama untuk jabatan ketua umum PB NU periode 2004-2009. Dalam pemungutan suara tahap pencalonan, KH Hasyim Muzadi memperoleh 293 suara, KH Masdar F Mas’udi 103 suara, KH Mustofa Bisri (35) Abdul Azis (4), sedangkan Gus Dur dan Tholchah Hasan hanya memperoleh 1 suara. Sehingga dilakukan tahap pemilihan antara KH Hasyim Muzadi 293 suara, KH Masdar F Mas’udi 103. Pada tahap ini KH Hasyim Muzadi mutlak mengungguli KH Masdar F Mas’udi dengan perbandingan suara 334 dan 99.

Ketika menjadi Calon Wakil Presiden, dia nonaktif sebagai Ketua Umum NU. Sejak awal terpilih sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) pada Muktamar ke-30 di Lirboyo, Kediri, 26 November 1999, dalam menjalankan organisasinya sebagai Ketua Umum, ia memiliki prinsip bahwa NU tidak akan berpolitik praktis dengan mengubah diri menjadi partai politik (parpol). Menurutnya, pengalaman selama 21 tahun sebagai partai politik cukup menyulitkan posisi NU.

Sejak semula dia berpendirian bahwa NU sebagai ormas Islam terbesar dengan jumlah anggota mencapai 45 juta orang, tidak boleh dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat. Kebesaran nama baik NU, bagi Muzadi, tidak boleh dipertaruhkan demi kepentingan kekuasaan.

Pengalaman pahit selama 21 tahun menjadi partai politik periode 1952 sampai 1973, kata Muzadi, menjadi pertimbangan signifikan dari pengurus besar untuk mengubah bentuk organisasi itu. Waktu itu, kata mantan Ketua NU Cabang Malang, ini kerja orang-orang NU hanya memikirkan kursi legis-latif. Sementara kerja NU lainnya seperti usaha memajukan pendidikan dan intelektual umat terabaikan.

Menjelang Pemilu 2004, NU didorong oleh berbagai kelompok untuk menjadi partai politik. Desakan menjadi parpol juga datang dari kelompok dalam NU (kalangan nahdliyin), tetapi sikap NU tidak goyah. Politik merupakan salah satu kiprah dari sekian banyak sayap NU. Di mata Muzadi, partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan dan kepentingan, sementara sifat kekuasaan itu sesaat. Di sisi lain NU dituntut memelihara kelanggengan dan kiprah sosialnya di masyarakat. Oleh karena itu, NU akan menolak setiap upaya perubahan menjadi partai politik.

Pengasuh Ponpes Mahasiswa Al Hikam, Malang, ini dikenal sebagai sosok kiai yang cukup tulus memosisikan dirinya sebagai seorang pemimpin Indonesia. Selain sebagai ulama, sosok Hasyim dikenal nasionalis dan pluralis. Apa saja yang dianggap perlu bagi agama, Indonesia, dan NU, Hasyim ikhlas melakukan.

Ketika terjadi peristiwa ditabraknya gedung WTC 11 September 2001, di mana AS langsung menuduh gerakan Al Qaeda sebagai pelakunya dan menangkapi orang-orang dan kelompok Islam yang diduga terkait dengan jaring Al Qaeda, posisi Islam moderat Indonesia luput dari tuduhan. Namun hal itu bukan berarti persoalan selesai.

Hasyim Muzadi memiliki pandangan, dunia internasional perlu mengetahui kondisi Islam di Indonesia dan perilaku mereka yang tidak menyetujui tindak kekerasan. Untuk itu perlu upaya komunikasi dengan dunia luar secara intensif. Tak terkecuali dengan AS. Makin banyak dan intens komunikasi maupun kontak ormas-ormas moderat Indonesia dengan internasional dan AS, itu makin positif. Apalagi, di tengah keterpurukan ekonomi, sosial, dan keamanan di Indonesia saat ini, kerja sama internasional jauh lebih berfaedah daripada keterasingan internasional.

Hasyim Muzadi pun menjadi tokoh yang mendapat tempat diundang pemerintah AS untuk memberi penjelasan tentang pemahaman masyarakat Islam di Indonesia. Ia cukup gamblang menjelaskan peta dan struktur Islam Indonesia. AS beruntung mendapat gambaran itu langsung dari ormas muslim terbesar Indonesia. Indonesia juga bersyukur karena seorang tokoh ormas muslimnya menjelaskan soal-soal Islam Indonesia kepada pihak luar.

“Saya gambarkan, umat Islam di Indonesia itu pada dasarnya moderat, bersifat kultural, dan domestik. Tak kenal jaringan kekerasan internasional,�? ujar Hasyim.

Soal kelompok-kelompok garis keras di Indonesia-betapapun jumlah dan kekuatannya cuma segelintir-Hasyim mengingatkan AS bahwa mengatasinya harus tidak sembarangan. Jangan sekali-kali menggunakan represi. Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,�? tutur Hasyim.

Apa alternatif pendekatannya jika represi ditanggalkan? “Saya minta supaya pendekatannya pendekatan pendidikan, kultural, dan social problem solving. Dijamin, gerakan-gerakan kekerasan akan hilang,” tutur Hasyim.

Di sisi lain, AS sadar perlunya menggalang pengertian dan kerja sama dengan Islam moderat di dunia. Di AS sendiri, ada sekitar 5 juta penganut Islam dan kini menjadi agama yang paling cepat pertumbuhannya dibandingkan agama-agama lain.

Muzadi juga mengakui, pejabat AS memang memiliki pandangan sendiri tentang masa depan, dunia Islam, dan terorisme. Namun banyak senator AS yang berharap Indonesia menjadi komunitas muslim yang pada masa depan bisa bersahabat dengan dunia. “Itu istilahnya mereka,�? katanya. Sedangkan ukuran AS adalah Indonesia bisa mengatur diri, sehingga tak menjadi sarang “kekerasan.” Namun, menurut Muzadi, yang cukup menggembirakan adalah tidak ada rencana AS sedikit pun untuk menyerang Indonesia.

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Muzadi, resmi menjadi calon wakil presiden mendampingi Ketua Umum DPP PDI-P Megawati Sukarnoputri pada Pemilu 2004. Kyai kelaharian Tuban, 8 Agustus 1944, ini menyatakan kiranya ia bisa berperan demi kesejahteraan bangsa, antara lain dalam rangka pemberantasan korupsi.

Pendeklarasian pasangan Capres-Cawapres ini dilakukan di pelataran Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Kamis 6 Mei 2004. Proses penetapan pasangan ini, menurut Hasyim dan Mega, sudah dirintis sejak enam bulan lalu, saat Megawati berkunjung ke Pondok Pesantren Al-Hikam, Malang yang dipimpin Hasyim Muzadi.

Biografi Kh. Zaini Mun’im Probolinggo

Ulama Pejuang dan Perintis Pertanian Tembakau

Nama Probolinggo telah ada sejak tahun 1359 M. (1281 Saka). Ketika Prabu Hayam Wuruk berhasil mempersatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit tahun 1357 M (1279 Saka) atas jerih payah Maha Patih Mada, rombongan pembesar kerajaan kemudian bermuhibah ke daerah ini dan enggan kembali. Sehingga ketika sang prabu sedang linggih (duduk) merenugi keindahan kawasan ini, maka kawasan ini dinamakan oleh masyarakat sebagai Prabu Linggih. Setelah mengalami proses perubahan ucapan, kata Prabu Linggih kemudian berubah menjadi Probo Linggo (Probolinggo). Daerah ini merupakan salah satu bagian dari Propinsi Jawa Timur yang terletak di kaki Gunung Semeru, Gunung Argopuro dan Pegunungan Tengger dengan luas sekitar 1.696,166 Km persegi.

Paiton adalah adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Probolinggo, Provinsi Jawa Timur yang terkenal dengan kehadiran kompleks Pembangkit Listrik-nya. Kawasan ini berada pada garis pantai yang menghadap ke selat Madura. Kawasan ini juga merupakan daerah penghasil tembakau. Karenanya banyak sekali masyarakat Paiton yang bekerja sebagai petani, nelayan dan pedagang barter seperti tembakau (blandang).

Dengan letak geografis yang cukup menguntungkan dalam perdagangan laut, terutama nelayannya, maka banyak nelayan dari Pasuruan; Sampang, Madura; Muncar, Banyuwangi yang singgah di sini. Karenanya, mayoritas penduduk di kawasan ini adalah etnis Madura. Sehingga dengan sendirinya, sebagaimana umumnya karakter masyarakat etnis madura, Paiton juga merupakan kawasan masyarakat santri yang memiliki banyak pesantren sebagai tempat mendidik generasi mudanya.

Salah satu di antara pesantren-pesantren kawasan ini yang cukup terkenal adalah Pesantren Nurul Jadid di desa Karanganyar, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, yang didirikan oleh KH Zaini Abdul Mun’im. Seorang ulama pejuang Republik kelahiran Madura yang datang ke Paiton pada tanggal 10 Muharram 1948 M. Beliau singgah di Karanganyar dalam perjalanannya menuju ke Yogyakarta untuk bergabung dengan para pejuang Republik lainnya di sana.

Ketika sedang berada di Karanganyar, KH Zaini mendapat titipan (amanat) dari Allah berupa dua orang santri yang datang kepada Beliau untuk belajar ilmu agama. Kedua santri ini bernama Syafi’udin berasal dari Gondosuli, Kotaanyar Probolinggo dan Saifudin dari Sidodadi Kecamatan Paiton, Probolinggo. Kedatangan dua santri tersebut oleh beliau dianggap sebagai amanat Allah yang tidak boleh diabaikan. mulai saat itulah KH Zaini menetap bersama kedua santrinya.

Namun tidak seberapa lama, beliau ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di LP Probolinggo. KH Zaini, pada waktu tersebut memang termasuk orang yang dicari-cari oleh Belanda sejak dari pulau Madura. Belanda menganggap beliau sebagai orang yang berbahaya, karena menurut Belanda, Beliau mampu mempengaruhi dan menggerakkan rakyat untuk melawan Belanda.

Setelah sekitar tiga bulan di penjara, kemudian beliau dikembalikan lagi ke Karanganyar untuk mengasuh santri-santrinya yang sedang menunggu kedatangannya. Sejak saat itulah, KH Zaini Abdul Mun’im membimbing santri-santrinya yang sudah mulai berdatangan dari berbagai penjuru seperti dari Madura, Situbondo, Malang, Bondowoso dan Probolinggo. Dengan banyaknya santri yang berdatangan, KH Zaini Mun’im kemudian merasa berkewajiban untuk mendidik mereka.

Merintis Dakwah di Tanah seberang
Memang kedatangan KH Zaini tidak secara langsung berniat untuk mendirikan sebuah pesantren. Namun atas saran dan dukungan dari berbagai pihak, maka Beliau pun kemudian memiliki tekad yang mantap untuk mendirikan sebuah pesantren yang dinakaman pesantren Nurul Jadid. Nama pesantren Nurul Jadid ini bermula pada saat KH Zaini Mun’im didatangi seorang tamu, putra gurunya (KH Abdul Majid) yang bernama KH Baqir. Beliau mengharap kepada KH Zaini Mun’im untuk memberi nama pesantren yang diasuhnya dengan nama Nurul Jadid.

Nama Karanganyar sebenarnya adalah desa Tanjung, nama kuno yang diambil dari nama sebuah pohon besar di sana yang dijadikan sebagai pusat penempatan sesajen untuk memuja para roh yang melindungi masyarakat sekitar. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat di sana pada awalnya adalah para penganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Menurut masyarakat setempat, keberadaan beberapa pohon-pohon besar ini tidak boleh ditebang. Pohon-pohon besar tersebut diyakini sebagai pelindung masyarakat dan harus diselenggarakan upacara ritual dalam bentuk pemberian sesajen, utamanya ketika ada suatu hajatan.

Sesajen itu disajikan kepada roh yang diyakini berada di sekitar pohon besar tersebut. Salah satu ritual itu dilakukakan ketika ketika musim tanam tiba. Sebelum panen, masyarakat menggelar sesajenan dengan cara patungan. Beberapa anggota masyarakat meletakkan ayam di beberapa tempat yang dianggap sakral. Selain itu pada setiap tahunnya mereka mengadakan selamatan laut dengan membuang kepala kerbau.

Dalam kehidupan sosial, masyarakat desa Tanjung sangat terbelakang (jahiliyah). Mereka belum mengenal peradaban baru (Islam) yang lebih baik. Hal ini terlihat dengan maraknya perjudian, perampokan, pencurian dan tempat mangkal para pekerja seks komersial (PSK). Kehidupan hedonis mewarnai pemandangan sehari-hari dan moralitas jauh ditinggalkan. Pada saat itu kesenangan dan kebahagiaan hanya terdapat pada perbuatan yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran.

Dalam kehidupan ekonomi, masyarakat desa Tanjung termasuk masyarakat yang sangat bergantung pada alam. Mereka menganggap bahwa jika yang diberikan alam sudah tidak ada lagi yang bisa dimakan, maka mereka pindah ke tempat lain atau mencari makan di daerah lain. Tempat yang mereka pilih terutama di daerah pinggiran laut (pantai) yang banyak pohon bakaunya untuk dimakan. Sedangkan lahan pertanian yang ada hanya dikuasai oleh beberapa orang.

Dengan demikian, desa Tanjung waktu itu merupakan desa “mati”, karena disamping daerahnya masih dipenuhi dengan hutan jati dan penuh dengan semak belukar yang tidak menghasilkan nilai ekonomis, juga karena masyarakatnya yang tidak memperdulikan keadaan sekitarnya.

Dalam situasi dan kondisi sosial masyarakat desa Tanjung seperti itulah, KH Zaini Mun’im –setelah mendapatkan restu dan perintah dari KH Syamsul Arifin, ayah KH As’ad Syamsul Arifin, Sukorejo– memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarganya di desa ini. Sebelum memutuskan untuk bertempat tinggal di desa Karanganyar, KH Zaini Mun’im mengajukan tempat-tempat lainnya dengan membawa contoh tanah pada KH Syamsul Arifin.

Daerah lain yang pernah diajukan oleh KH Zaini Mun’im selain tanah desa Karanganyar ini adalah daerah Genggong Timur, dusun Kramat Kraksaan Timur, desa Curahsawo Probolinggo Timur, sebuah dusun di daerah kebun kelapa Jabung, dan dusun Sumberkerang. Setelah diseleksi contoh tanahnya oleh KH Syamsul Arifin, maka KH Zaini Mun’im diperintahkan untuk menetap di Desa Tanjung.

Berkat ketekunan KH Zaini dalam berdakwah, maka berangsur-angsur kehadiran pesantren Nurul Jadid dapat mengubah kondisi yang demikian menjadi kondisi masyarakat dengan iklim religius tanpa mengalami penentangan yang frontal. Lambat laun, dengan kehadiran pesantren yang diasuh oleh KH Zaini dan dakwah Islam yang dipimpinnya dengan santun, nama desa Tanjung berubah menjadi Karanganyar.

Memberdayakan Ekonomi Masyarakat
KH Zaini Abdul Mun’im adalah seorang ulama yang memiliki kepedulian terhadap kondisi kemiskinan dan keterbelakangan rakyat akibat penjajahan dan kekejaman pemerintah kolonial Belanda. Karena karakter KH Zaini yang memiliki kepedulian tinggi terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakatnya, maka pesantren yang didirikannya ini juga diformat untuk memiliki kepeduliannya yang tinggi dan ikut menciptakan pemberdayaan manusia dengan seutuhnya.

Sejak itulah KH Zaini Mun’im mulai dikenal di masyarakat karena keuletan dan keberanian serta ketabahannya. Di samping itu, dua orang teman yang membantunya, yakni KH Munthaha dan KH Sufyan. Keduanya adalah santri yang ditugaskan oleh KH Hasan Sepuh (Pengasuh PP. Zainul Hasan Genggong, Kraksaan) untuk membantu KH Zaini Mun’im sambil mengaji kepada beliau. memang sudah dikenal oleh masyarakat luas karena sering memberi bantuan kepada masyarakat, terutama keampuhan doa-doanya.

Setelah kesadaran beribadah masyarakat mulai tumbuh yang terbukti dengan dibangunnya beberapa mushalla oleh masyarakat setempat, KH Zaini Mun’im memperkenalkan tanaman baru kepada mereka, yakni tembakau yang bibitnya dibawa dari Madura. Awalnya, bibit tersebut sebagai percobaan di desa Karanganyar. Seiring perkembangan waktu, ternyata tanaman ini memang cocok dengan keadaan tanah di desa Karanganyar dan bisa mengangkat perekonomian masyarakatnya. Akhirnya, tanaman ini menjadi penghasilan pokok masyarakat Karanganyar dan bahkan masyarakat di luar Paiton.

Pada sisi lainnya, upaya yang dilakukukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya, juga cukup memberikan hasil yang memuaskan. Terbukti dengan pupusnya kepercayaan mereka terhadap roh ghaib dan semakin rendahnya kasus pencurian, pemerkosaan, perjudian, serta lenyapnya gembong PSK. Dan seiring itu pula, tumbuhlah semangat yang menyala-nyala dalam mempertahankan kehidupan menuju keluarga sakinah (keluarga bahagia dunia-akhirat).

Dalam keadaan yang sudah mulai damai dan nyaman, KH Zaini Mun’im dikejutkan oleh surat panggilan yang datangnya dari Menteri Agama (waktu itu adalah KH Wahid Hasyim). Beliau diminta untuk menjadi penasehat jamaah haji Indonesia. Dan tawaran tersebut beliau terima. Pada saat itu jumlah santri yang sudah menetap di PP. Nurul Jadid sekitar 30 orang dan siserahkan di bawah asuhan KH Munthaha dan KH Sufyan. Dengan kharisma yang dimiliki, keduanya, dengan mudah membangun beberapa pondok yang terbuat dari bambu untuk tempat tinggal para santri pada waktu itu.

Sepulangnya KH Zaini Mun’im dari tanah suci dalam tugasnya sebagai penasehat jamaah haji Indonesia, terlihat beberapa gubuk sudah berdiri, maka tergeraklah hati beliau untuk memikirkan masa depan para santri-santrinya. Mulailah KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya membabat hutan yang ada di sekitarnya sehingga berdirilah sebuah pesantren yang cukup besar sampai terlihat seperti sekarang ini.

Secara pelan-pelan, kehidupan masyarakat mulai ada perubahan. Hal ini berkat ketekunan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya. Mereka disadarkan dengan sentuhan agama. Akhirnya, timbul suatu kesadaran di kalangan masyarakat bahwa merekalah yang sebenarnya memiliki potensi yang sangat besar untuk bisa merubah cara hidupnya, terutama dari kehidupan sosial ekonomi.

Setelah perekonomian masyarakat mulai meningkat melalui pemanfaatan tanah pertanian, mulailah dimasukkan ajaran dan nilai-nilai agama islam dalam kehidupan masyarakat Karanganyar. Hal lainnya adalah pendalaman ilmu agama melalui sistem pendidikan non formal. Pola pendidikan dan pembinaan semacam itu dilakukan, baik kepada santri maupun kepada masyarakat sekitar pesantren. Pengajian kitab dilakukan dengan berbagai metode. Mulai dari bandongan, sorogan dan takhassus. Sementara itu pemberian makna dalam pengajian kitab kuning menggunakan bahasa indonesia. Sehingga pesantren Nurul Jadid merupakan pesantren pertama yang menggunakan bahasa Indonesia dalam menerangkan dan menterjemahkan kitab-kitab yang dikajinya.

Upaya perubahan yang dilakukan KH Zaini Mun’im bersama santri-santrinya terhadap masyarakat Karanganyar tersebut, kemudian dibalas dengan sikap simpati masyarakat berupa dukungan terhadap perkembangan pesantren Nurul Jadid. Di antaranya adalah dukungan masyarakat Karanganyar terhadap berdirinya Lembaga Pendidikan mulai Taman Kanak-kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT).

Pesantren yang diasuh KH Zaini Mun’im ini nampaknya mendapat pengakuan yang cukup luas di kalangan masyarakat. Terbukti dengan semakin banyaknya jumlah santri yang berdatangan dari segala penjuru tanah air, bahkan dari luar negeri (Singapura dan Malaysia). Hingga saat ini pesantren Nurul Jadid telah melahirkan ribuan alumni.

Isyarat dan Menjual Tanah
Sebelum mendirikan pesantren di desa karanganyar ini, KH Zaini Mun’im sempat memiliki keraguan, hingga tiba-tiba beliau menemukan sarang lebah. Hal ini kata orang-orang waktu itu adalah sebagai isyarat, jika beliau menetap dan mendirikan pondok pesantren di Desa Karanganyar (Tanjung), maka akan banyak santrinya.

Isyarat kedua datang dari KH Hasan Sepuh Genggong. Suatu saat ketika Kyai Hasan mendatangi suatu pengajian dan melewati desa Tanjung. Beliau berkata kepada kusir dokarnya, ”Di masa mendatang, jika ada kiai atau ulama yang mau mendirikan pondok di daerah sini, maka pondok tersebut kelak akan menjadi pondok yang besar, dan santrinya kelak akan melebihi santri saya.” Sang kusir pun hanya manggut-manggut. Kemudian peryataan ini tersebar ke masyarakat sekitar dan sampai di telinga KHZaini.

Isyarat ketiga datang dari alam setempat, kondisi tanahnya yang bagus dan suplai air yang mencukupi. Selain itu, desa Tanjung merupakan tempat yang jauh dari keramaian kota (Kraksaan), sehingga sangat cocok untuk mendirikan sebuah tempat pendidikan.

Setelah dirasa cocok, KH Zaini Mun’im segera membuat kesepakatan dengan H. Tajuddin salah seorang pemilik tanah yang luas di desa Tanjung. KH Zaini menukarkan dengan tanahnya yang ada di pulau Madura, dengan hutan jati dan belukar di tempat tersebut. Dengan berbekal satu batang lidi, Beliau berjalan menelusuri tanah yang sudah menjadi miliknya itu, sehingga semua hewan dan binatang buas serta membahayakan lari dan meninggalkan hutan jati itu menuju utara desa Grinting. Selama satu tahun lebih beliau membabat hutan, mendirikan rumah, membangun surau kecil bersama dua orang santri pertamanya dan mengubah hutan serta belukar menjadi tegalan dan perkebunan.

Motto hidup KH Zaini adalah mewakafkan diri untuk penyiaran dakwah Islam dan meninggikan agama Allah. Beliau adalah seorang ulama pejuang yang kuat, tabah dan memiliki kesetiaan tinggi kepada rekan-rekannya. Sehingga ketika berada dalam tahanan Belanda di Probolinggo, Beliau tetap bungkam meskipun dipaksa dengan berbagai cara untuk membocorkan tempat-tempat pesembunyian rekan-rekan seperjuangannya yang lain, yang juga menjadi buronan Belanda. KH Zaini sangat kuat memegang semboyan ”liberty or dead (merdeka atau mati)”. Sehingga tidak satu pun temen-teman seperjuangannya yang dapat ditangkap Belanda karena pengakuan Beliau. (nuon/Syaifullah Amin)

Biografi KH. Muhammad Hasan Genggong

Nama : Mohammad Hasan (KH. Mohammad Hasan)
Nama Masa Kecil : Ahsan
Nama Akrab : Kiai Hasan, Kiai Hasan Sepuh.
Tanggal Lahir : Probolinggo, 27 Rajab 1259 h / 23 Agustus 1843 m
Tanggal Wafat : Probolinggo, 11 Syawal 1374 h / 1 juni 1955 m
Alamat Asal : Desa Sentong Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo
Alamat Tinggal : Desa Karangbong Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo
Nama Ayah : Syamsuddin (Kiai Syamsuddin / Kiai Miri)
Nama Ibu : Khadijah (Nyai Khadijah / Nyai Miri)

KH. Mohammad Hasan, begitulah nama lengkap tokoh kita di naskah ini. Di masa kecil, beliau bernama Ahsan. Beliau lahir di sebuah desa bernama Sentong. Sentong terletak  4 km arah selatan kraksaan. Dulu, desa Sentong masih berada di wilayah kawedanan Kraksaan. Saat ini Sentong termasuk wilayah Kecamatan Krejengan.
Pada suatu malam, langit cerah waktu itu, sepasang suami istri tidur terlelap di rumahnya. Si suami, seorang lelaki bernama Syamsuddin sehari-hari bekerja mencetak genteng. Genteng yang diolah dari tanah liat dijual untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Istrinya, seperti wanita pada umumnya, adalah seorang ibu rumah tangga yang patuh pada suaminya. Khadijah–nama istrinya–juga turut membantu pekerjaan suaminya itu dan menyiapkan hidangan yang layak untuk suaminya. Keluarga itu adalah keluarga yang bahagia.
Malam itu Syamsuddin bermimpi indah. Dalam mimpinya ia melihat istrinya merenggut bulan purnama
kemudian bulan itu ditelan tanpa tersisa sedikitpun. Ketika terbangun, syamsuddin bertanya-tanya apa makna mimpinya itu. Berhari-hari dia merasa penasaran, namun belum ada jawaban yang dapat memuaskan rasa penasarannya itu. Syamsuddin dan istrinya hanya bisa bermunajat kepada Allah SWT berharap bahwa mimpi itu merupakan pertanda baik bagi mereka berdua. Aktifitas mereka berdua kembali seperti biasa. Suatu hari Khadijah merasa bahwa dia sedang hamil untuk kedua kalinya. Sepertinya mimpi suaminya bahwa khadijah menelan bulan purnama menandakan bahwa dia akan hamil.
Syamsuddin adalah orang yang rajin bersedekah, begitu pula Khadijah istrinya. Setiap mendapat hasil kerja, tak lupa mereka bersedekah kepada orang-orang yang berhak. Suami istri ini adalah keluarga yang taqwa kepada Allah SWT. Ibadah adalah rutinitas yang utama dalam keluarga ini. Di lingkungannya, keluarga ini adalah salah satu keluarga terpandang. Masyarakat memanggil suami istri itu dengan sebutan Kiai dan Nyai. Jadilah panggilan mereka berdua Kiai Syamsuddin dan Nyai Hajjah Khadijah. Namun masyarakat lebih akrab memanggil mereka dengan sebutan lain yaitu Kiai Miri dan Nyai Miri. Hingga wafatnya, pasangan Kiai Miri-Nyai Miri ini memiliki 5 orang putra.
Kiai Miri adalah putra dari Kiai Qoiduddin, sedangkan Nyai Khadijah ini adalah anak ke-2 dari 8 bersaudara dari suami istri yang Qomariz Zaman. Qomariz Zaman sebenarnya adalah nama sang ibu, sedangkan nama ayah Nyai Khadijah tidak diketahui. Kelak, nama Qomariz Zaman ini diabadikan sebagai sebuah ikatan perkumpulan anak keturunan kakek-nenek Qomariz Zaman.
Waktu terus berlalu dan ketika genap hitungannya, lahirlah jabang bayi laki-laki yang dinanti-nantikan itu. Ketika itu tanggal 27 rajab 1259 h, kurang lebih bertepatan dengan 23 agustus 1843 m. Oleh Kiai Miri, putranya itu beliau beri nama Ahsan; Ahsan bin Syamsuddin.
Ahsan tumbuh selayaknya anak kecil pada umumnya. Di bawah bimbingan ayah dan ibunya, Ahsan mendapatkan bimbingan yang layak. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama karena sang ayah, Kiai Miri, meninggal dunia pada saat Ahsan masih kecil. Jadilah Ahsan hanya diasuh oleh sang ibunda.
Ketika kecil, Ahsan telah menampakkan suatu keistimewaan tersendiri dibandingkan saudara-saudara dan teman-teman sebayanya. Keistimewaan itu tercermin dari sifat-sifat yang melekat pada diri Ahsan. Sikap, tutur bahasa, dan tata krama pada orang sekitarnya sangat sopan dan santun. Ahsan juga termasuk anak yang cerdas pikirannya, cepat daya tangkap hafalannya serta kuat daya ingatnya, merupakan sifat-sifat yang memang dimiliki sejak kecil. Pergaulannya sehari-hari senantiasa dibimbing ibundanya dengan baik. Selain ibunda, Ahsan juga dibimbing oleh seorang pamannya yang bernama sama dengan sang ayah yaitu Kiai Syamsuddin.
Pamannya ini mempunyai seorang putra bernama Asmawi. Asmawi berusia lebih tua dari Ahsan sehingga Ahsan memanggil Asmawi dengan sebutan kakak. Sebaliknya Asmawi memanggil Ahsan dengan sebutan Adik. Mereka berdua selalu bersama-sama sejak kecil hingga melanglang buana menuntut ilmu di Mekkah.
Sebagai pribadi, Ahsan kecil memiliki sifat rendah hati, ikhlas, selalu menghormati orang lain, ramah pada siapapun yang dijumpai. Sebagai seorang muslim, ahsan menganggap bahwa dirinya memiliki kewajiban untuk senantiasa meningkatkan dan memperbaiki kualitas moral yang terdapat dalam diri beliau. Dalam Islam, akhlak memiliki dimensi yang luas dan universal. Mencakup akhlak terhadap apapun dan siapapun yang ada di sekitar kita. Termasuk akhlak terhadap lingkungan, terhadap alam, terhadap hewan, dan lain sebagainya.
Dalam bertutur kata Ahsan diajarkan untuk selalu berkomunikasi dengan bahasa madura yang halus dan santun disertai dengan sikap yang lemah lembut pula. Ahsan tak pernah menggunakan bahasa madura dengan aksen kasar pada siapapun. Kelak, akhlak beliau itu tetap merupakan ciri khas tersendiri yang dimilikinya hingga wafat. Hal ini tak lepas dari ajaran yang diberikan oleh ibunda beliau dan pamannya itu yang mengajarkan akhlakul karimah dan makna iman dan taqwa pada Allah SWT.
Sebagai seorang muslim, Ahsan meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupan. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Jika keyakinan semacam ini mampu diterapkan dalam diri setiap muslim, maka akan muncul penerapan keyakinan bahwa Allah adalah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak. Akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain.
Ahsan sejak kecil telah mendapat didikan yang baik. Ahsan adalah seorang anak yang taat dan rajin menjalankan terhadap perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Dalam setiap pekerjaan atau aktifitas kesehariannya, ia memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya. Segala sesuatu yang dia hadapi dianggapnya sebagai sebuah bentuk tanggung jawab yang tidak boleh ia hindari. Ahsan sadar betul bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah atas kehendak Allah SWT. Dalam setiap aktifitas yang dijalaninya dengan perasaan ikhlas dan ridha. Semuanya merupakan ketentuan Allah SWT.
Setiap kali melaksanakan aktifitasnya sehari-hari, Ahsan tidak pernah lupa atas kewajibannya sebagai muslim. Apabila telah tiba waktunya, maka buru-buru Ahsan segera pulang untuk melaksanakan kewajiban sholat 5 waktu. Dalam sholatnya, tidak lupa ia memohon petunjuk kepada Allah SWT atas setiap perbuatannya. Ahsan senantiasa memohon ampunan dengan bertaubat kepada Allah SWT. Ia beribadah semata-mata hanya mengharap ridla Allah. Di luar kewajibannya melaksanakan ibadah sholat, Ahsan juga seorang bocah yang rajin melantunkan bacaan Al-Qur’an di rumahnya yang sederhana.
Setelah ditinggal wafat oleh ayahandanya, praktis hanya ibundanya yang mengasuh Ahsan secara intensif. Layaknya orang tua pada umumnya, Nyai Miri mendidik Ahsan dengan kesabaran. Orang tua adalah orang yang paling dekat dengan seorang anak. Demikian juga dengan Ahsan dengan Nyai Miri; hubungan antara seorang anak dan ibu. Ahsan menaruh akhlak yang baik kepada ibundanya ini. Baginya, tidak ada sesuatu yang mampu menggantikan kebaikan ibundanya itu. Pengorbanan yang diberikan oleh seorang ibu tidak sebanding dengan penghargaan apapun yang diberikan seorang anak. Oleh karena itulah, pengorbanan yang demikian besarnya dari orang tua, dibalas oleh Ahsan dengan akhlak dan etika yang baik terhadap mereka.
Ahsan kecil belajar mengaji al-qur’an dan pengetahuan keagamaan di kampung halamannya. Bersama Asmawi dan teman masa kecilnya yang lain, Ahsan berguru pada Kiai Syamsuddin. Pada dasarnya memang Ahsan dan Asmawi adalah anak-anak yang cerdas. Selain cerdas, keduanya juga rajin dan punya rasa ingin tahu yang besar, terlebih lagi pada ilmu pengetahuan. Tak heran, keduanya selalu tercepat dalam pelajaran hafalan dan hafalannya tetap kuat diingat meski telah lama dihafalkan. Pelajaran yang disampaikan mudah sekali dicerna oleh keduanya. Sementara teman-temannya yang lain masih ketinggalan pelajaran, Ahsan dan Asmawi telah mampu menyelesaikan beberapa bagian pelajaran di depan mereka. Selalu begitu hingga menginjak remaja nanti. Ahsan hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari selasa, maka teman-temannya hafal di senin berikutnya.
Dari tahun ke tahun Ahsan dan Asmawi kemudian menginjak masa remaja. Masa kecil keduanya telah berlalu. Didikan dan bimbingan yang baik yang ditanamkan oleh ibunda dan pamannya merupakan bekal yang berharga untuk segera menentukan langkah di masa depan mereka. Dengan bekal rasa ingin tahu dan haus pada ilmu pengetahuan yang memang besar, bersama Asmawi mereka ingin mengembangkan wawasan dan ilmu mereka. Ketika itu Ahsan berusia 14 tahun. Setelah berpamitan pada ibunda dan kerabatnya yang lain, dengan bekal secukupnya berangkatlah Ahsan dan Asmawi, sepupu cerdasnya itu menuju ke Pondok Sukunsari Pohjentrek Pasuruan. Jarak antara Sentong ke pondok tersebut  70 km. Ahsan dan Asmawi sudah tentu berjalan kaki. Di tahun 1857 itu, penjajah Belanda telah menancapkan kakinya di bumi pertiwi lebih dari dua abad lampau.
Ahsan dan Asmawi belajar dan mengabdi di pondok ini, pengasuhnya ialah seorang kiai bernama KH. Mohammad Tamim. Keduanya adalah santri yang tekun dan rajin di setiap kegiatan pondok. Seperti cerita di masa kecilnya dulu, Ahsan dan Asmawi masih saja selalu unggul atas teman-teman santri lainnya di pondok tersebut. Ahsan hafal di hari senin, Asmawi hafal di hari selasa, maka teman-temannya hafal di senin berikutnya.
Keduanya hidup sederhana di pesantren itu. Jika suatu waktu mereka mendapatkan rizki, mereka tidak pernah menghambur-hamburkan rizki itu, namun ditabung. Mereka berdua mempunyai tabungan yang disimpan di kamar; ditempatkan di atas loteng. Nyatalah suatu ketika tabungan mereka tu berguna. Suatu hari, Kiai Tamim sedang meninjau keadaan bangunan-bangunan milik pesantren. Saat itu muncullah keinginan beliau untuk memperbaiki beberapa bagian bangunan pondok yang rusak. Niat itupun bulat setelah dipertimbangkan masak-masak. Kiai Tamim pun menghitung-hitung biaya yang dibutuhkan untuk perbaikan. Ternyata biaya Untuk perbaikan tersebut tidak sedikit. Sedangkan kondisi keuangan Kiai Tamim masih belum mencukupi biaya tersebut. Biayanya sekitar 10 gulden.
Mengingat biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, Kiai Tamim akhirnya mengutarakan niat tersebut pada para santri beliau. Dalam penyampaiannya, beliau berharap jika ada santri yang memiliki uang sejumlah biaya tersebut, kiai hendak meminjam uang tersebut. Sang kiai pun berharap-harap cemas, namun dari sekian banyaknya santri beliau tak seorang pun yang memberikan tanggapan terhadap hal itu. Kiai Muhammad Tamim pun sedikit kecewa karena beliau tahu bahwa di antara santri-santri itu ada yang berasal dari kalangan keluarga yang mampu secara ekonomi.
Di antara para santri itu, duduk pula Ahsan dan Asmawi. Setelah Kiai Tamim menyampaikan maksud beliau dan majelis selesai, keduanya bergegas menuju kamar. Simpanan uang yang diletakkan di kamar mereka ambil tanpa dihitung terlebih dahulu. Lalu mereka berdua bergegas menghadap Kiai Tamim untuk menyerahkan semua uang simpanan itu. Setelah bertemu, keduanya langsung menyerahkan uang simpanan tersebut kepada Kiai Tamim dengan hati ridla dan tulus tanpa mengharap kembalinya uang itu.
Kiai Tamim merasa terharu menerima uang simpanan itu. Beliau kagum pada Ahsan dan Asmawi karena sikap mulia itu. Keduanya hidup secara sederhana dalam kesehariannya, tapi untuk tujuan yang suci, apapun yang dimiliki diberikan meski sedikit. Kiai Tamim lantas memanjatkan do`a kepada Allah SWT untuk keduanya.
Setelah merasa cukup menuntut ilmu di Sukunsari, Ahsan dan Asmawi menyampaikan keinginannya kepada Kiai Tamim untuk melanjutkan menuntut ilmu pondok Bangkalan Madura. Kiai Tamim dengan bangga dan terharu melepas dua orang santri cerdas itu berangkat ke madura. Semangat yang luar biasa besar dari dua orang remaja tanggung demi menuntut ilmu itu mengalahkan jarak tempuh yang luar biasa jauh. Dengan kembali berjalan kaki, kemudian menyeberangi laut, kemudian kembali berjalan kaki menuju Pondok Bangkalan Madura. Di situlah seorang ulama besar pencetak ulama besar menempa santrinya dengan ilmu pengetahuan dan wawasan kehidupan. Kurang lebih nama beliau adalah KH. Mohammad Kholil. Saat itu tahun 1860/1861.
Kiai Kholil adalah kiai yang termasyhur kealimannya. Dari beliaulah banyak tampil ulama-ulama besar di pulau Madura dan Jawa. Santri-santri beliau kemudian banyak yang mendirikan atau mengasuh pesantren-pesantren besar dan terkemuka. Sebagian besar ulama menyatakan bahwa Kiai Kholil adalah seorang waliyullah.
Suatu ketika Kiai Kholil mengalami kesusahan. Beliau memanggil Ahsan. Ahsan lalu menghadap beliau, kemudian Kiai Kholil menyampaikan maksud tersebut, yaitu meminta pertolongan Ahsan agar ikut berdoa kepada Allah memohon kemudahan dalam menyelesaikan urusan yang meresahkan Kiai Kholil. Ahsan pun lantas ikut berdoa. Keesokan harinya, kesusahan Kiai Kholil tersebut dapat teratasi. Pertanyaan yang patut dikedepankan ialah mengapa Kiai Kholil memanggil Ahsan dan memintanya untuk ikut berdoa(?)
Selama berada di madura, selain berguru pada Kiai Kholil, Ahsan sempat berguru pada Syeikh Chotib Bangkalan dan juga KH. Jazuli Madura. Sebenarnya ada guru Ahsan yang bernama Syekh Nahrowi di Sepanjang Surabaya dan Syekh Maksum dari Sentong, desa kelahiran Ahsan. Sangat disayangkan tidak ada penjelasan mengenai di mana dan kapan Ahsan berguru kepada Syekh Nahrowi. Pada referensi terdahulu atau di sumber pendukung lainnya hanya disebutkan bahwa Syekh Nahrowi adalah guru beliau, juga tidak ada yang bisa memastikan pernahkah Ahsan bermukim sementara di Surabaya untuk berguru pada Syekh Nahrowi. Tidak diketahui juga kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Maksum. Jadi persoalannya ialah kapan dan di mana Ahsan berguru pada Syekh Nahrowi dan Syekh Maksum.
Setelah tiga tahun berada di Bangkalan, suatu ketika Asmawi ingin lebih memperdalam lagi ilmunya. Dalam hati kecilnya, Asmawi selalu bertanya-tanya mengapa Ahsan selalu lebih cepat menghafal dan menangkap pelajaran daripada dirinya. Dalam pikirannya Asmawi menganggap Ahsan lebih cerdas dan sulit dilampaui kecerdasannya oleh Asmawi. Setiap pelajaran kitab yang dipelajari, Ahsan selalu saja terlebih dahulu paham. Timbullah perasaan iri tersebut; iri pada kecerdasan seorang anak manusia. Asmawi bertekad untuk menambah ilmunya. Dia berfikir, bahwa jika dirinya berkumpul dengan Ahsan, maka dirinya akan selalu kalah pada Ahsan. Satu-satunya cara ialah menuntut ilmu di tempatnya ilmu, sedangkan Ahsan tidak pergi ke tempat itu karena masih tetap belajar di Bangkalan. Maka pastilah dirinya akan lebih mampu dan lebih pintar dibanding Ahsan. Tempat tujuan itu hanya satu dan cukup jelas di pikiran Asmawi: Makkatul Mukarromah!
Setelah segala sesuatunya selesai disiapkan, di tahun 1863 berangkatlah Asmawi sendirian menuju Makkatul Mukarromah untuk menunaikan Ibadah Haji di samping akan memperdalam ilmunya. Girang benar perasaan Asmawi. Sementara di bangkalan, Ahsan melepas keberangkatan Asmawi dengan perasaan bangga memiliki saudara sepupu yang haus ilmu. Namun di hati kecilnya, saat itu muncul pula keinginan untuk menyusul saudaranya itu ke Mekkah. Namun waktu itu menyusul berangkat asmawi adalah sesuatu yang sangat sulit. Ahsan pun bermunajat pada Allah SWT memohon agar dapat menyusul saudaranya itu.
Tidak lama setelah Asmawi berangkat, Ahsan dipanggil pulang ke Sentong oleh sang ibunda. Setibanya di rumah, Ibunda menanyakan apakah Ahsan juga berminat untuk berangkat ke Mekkah atau meneruskan mondok. Jika hendak ke Mekkah, uang yang tersedia masih belum mencukupi biaya keberangkatan. Jika hendak ke Mekkah, maka Ahsan harus giat mencetak genteng dan terpaksa tidak kembali ke bangkalan untuk memenuhi biaya keberangkatan. Pilihan itu memang sulit. Ahsan pun melakukan istikharah (mohon petunjuk) kepada Allah SWT. Dari istikharah itu, Allah memberikan satu petunjuk dengan suatu kalimat yang ditampakkan pada Ahsan. Isinya adalah kalimat If`al Laa Taf`al (kerjakan dan jangan kerjakan).
Dari isyarat itu, Ahsan menarik suatu kesimpulan bahwa bekerja di rumah atau tetap meneruskan mondok dan tidak bekerja adalah sama saja. Berangkat ke Mekkah guna menuntut ilmu juga akan tetap terlaksana jika Allah menghendaki. Atas kesimpulan itu, Ahsan memilih untuk meneruskan mondok saja. Akhirnya Ahsan kembali menuju ke Bangkalan.
Setibanya di Bangkalan, Ahsan langsung menghadap kepada Kiai Kholil untuk mengadukan hal tersebut sekaligus memohon doa kepada Kiai Kholil, supaya Allah segera mentaqdirkan keberangkatannya ke tanah suci dan terlaksana dengan mudah. Kiai Kholil pun mendo`akan niat dan harapan itu. Selanjutnya Ahsan kembali melakukan aktifitasnya sebagai santri.
Selang beberapa waktu kemudian, ibunda kembali menyuruh Ahsan untuk pulang lagi. Setibanya di rumah, Ahsan mendapati bahwa ongkos pembiayaan ke Mekkah sudah cukup tersedia, meski hanya cukup untuk ongkos perjalanan saja. Biaya hidup selama di tengah perjalanan dan selama di Mekkah tidak termasuk dalam biaya tersebut. Namun karena kegigihan dan bulatnya tekad Ahsan, maka Ahsan tetap berangkat dengan biaya tersebut. Ahsan pun berpamitan pada ibundanya dan Kiai Kholil. Ahsan berangkat ke Mekkah sekitar tahun 1864.
Di Mekkah, Ahsan kembali berkumpul saudaranya, Asmawi. Asmawi gembira mendapati saudaranya juga ditakdirkan oleh Allah juga tiba untuk menuntut ilmu di Mekkah sekaligus menunaikan ibadah haji. Namun hati kecilnya mengatakan bahwa ia akan kembali kalah dalam menerima ilmu pengetahuan kepada Ahsan. Asmawi yang tiba lebih dulu dan telah mengetahui seluk beluk Mekkah, selang beberapa hari setelah Ahsan tiba kemudian mengajak Ahsan untuk bertamu pada salah satu temannya yang bernama Abdul Qohar. Setelah bertemu ternyata oleh Asmawi keduanya dipertemukan untuk bermujadalah (debat). Berlangsunglah mujadalah itu dan hasilnya semua persoalan mujadalah dapat diselesaikan dengan baik oleh Ahsan. Lawan debatnya mengakui kemampuan ilmu yang dimiliki Ahsan. Di tengah perjalanan pulang, Ahsan bertanya pada Asmawi kenapa dirinya diadu-debat. Untuk menutupi maksudnya menguji kemampuan Ahsan, Asmawi berkelit bahwa pertemuan itu hanyalah ajang musyawarah.
Asmawi semakin yakin bahwa Ahsan memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun perdebatan itu masih belum cukup untuk membuktikan hal tersebut. Akhirnya Asmawi kembali mengajak Ahsan untuk bermujadalah. Kali ini dengan seorang keturunan Magrabi yang telah bermukim di Mekkah selama 40 tahun, dia seorang ulama yang alim di Mekkah. Ahsan yang memang tidak pernah berprasangka buruk pada siapapun menurut saja ketika dirinya diajak bertamu pada ulama tersebut dan tidak mengetahui maksud pertemuan itu. Seperti pertemuan dengan orang sebelumnya, pertemuan itu kembali berlangsung dengan mujadalah. Pertemuan yang dimulai sejak pagi setelah sholat dluha itu berlangsung jam demi jam hingga berlangsung hingga waktu sholat Dluhur, dan berjamaahlah mereka bertiga. Setelah sholat, mujadalah kembali berlangsung. Setiap pertanyaan yang dialamatkan pada Ahsan secara bertubi-tubi dari ulama itu dijawab dengan baik oleh Ahsan. Dalam hatinya ulama itu mengakui kecerdasan Ahsan. Di ujung mujadalah, Ahsan hendak mengajukan pertanyaan untuk dijawab oleh sang ulama lawan debatnya, namun tak dapat dijawab. Serta merta ulama tersebut berkata, ”Sungguh dia adalah pemuda yang benar-benar ’alim!”
Pertemuan pun selesai setelah kedua pemuda jawa itu pamit pulang. Ahsan kembali bertanya pada kakandanya itu kenapa dirinya diadu-debat dengan orang lagi? Asmawi kemudian menyampaikan maksudnya mendebatkan Ahsan dengan beberapa orang. Ahsan kemudian meminta kakandanya itu tidak lagi mempertemukan Ahsan dengan orang-orang jika tujuannya adalah mujadalah. Demi mendengar permintaan itu, Asmawi kemudian berjanji tidak akan mengulangi hal tersebut.
Ahsan kemudian berguru pada beberapa orang syekh terkemuka di Mekkah di samping pada beberapa orang ulama Indonesia yang bermukim. Guru-guru mereka selama menuntut ilmu di Mekkah adalah KH. Mohammad Nawawi bin Umar Banten, KH. Marzuki Mataram, KH. Mukri Sundah, Sayyid Bakri bin Sayyid Mohammad Syatho Al-Misri, Habib Husain bin Muhammad bin Husain Al-Habsyi, Syekh Sa`id Al-Yamani Mekkah, dan Habib Ali bin Ali Al-Habsyi. Nama terakhir ini adalah guru Ahsan ketika sempat bermukim di Madinah.
Sejak tekun menuntut ilmu di Pondok-Pondok, kezuhudan dan kekhusyu`an telah terlihat dalam diri Ahsan. Selama di Pondok beliau tak pernah makan makanan selain makanan yang diperoleh dari ibunda beliau jika berada di rumah serta makanan pemberian guru beliau. Jika menanak nasi, Ahsan seringkali mencampurnya dengan pasir. Hal ini dilakukan agar pada saat makan, beliau bisa makan dengan pelan, karena di samping menyuap nasi, juga harus menyisihkan dan membuangi pasir yang bercampur dengan nasinya itu.
Sejak kecil Ahsan dan Asmawi memang mempunyai tanda-tanda bahwa keduanya memiliki keistimewaan yang akan berguna bagi masyarakat suatu saat nanti. Kelak hal itu benar-benar terbukti, masyarakat tidak lagi memanggil dua orang itu dengan nama Ahsan dan Asmawi. Masyarakat telah mengenal dua orang tokoh dan ulama besar itu dengan nama KH. Mohammad Hasan Genggong dan KH. Rofi’i Sentong.
Selama berguru sejak kecil hingga berada di Mekkah, Ahsan memiliki banyak sahabat. Selain Asmawi, banyak lagi sahabat-sahabat lainnya seperti KH. Hasyim Asy`ari Tebuireng Jombang, KH. Nawawi Sidogiri Pasuruan, KH. Nahrowi Belindungan Bondowoso, KH. Abdul Aziz Kebonsari Kulon Probolinggo, KH. Syamsul Arifien Sukorejo Situbondo, KH. Sholeh Pesantren Banyuwangi, KH. Sa`id Poncogati Bondowoso, Kiai Abdur Rachman Gedangan Sidoarjo, Kiai Dachlan Sukunsari Pasuruan, dan Habib Alwie Besuki.
Demikian juga dengan para Habaib. Ahsan juga banyak memiliki kedekatan seperti dengan Habib Hasyim Al-Habsyi Kraksaan, Habib Abdullah Al-Habsyi Palembang, Habib Sholeh bin Abdullah Al-Habsyi Pasuruan, Habib Hasan bin Umar Kraksaan, Habib Achmad bin Alwie Al-Habsyi Kraksaan, Habib Sholeh Al-Hamid Tanggul Jember, Habib Husain bin Hadi Al-Hamid Brani Maron, Habib Sholeh bin Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso, Habib Abu Bakar Al-Muhdlar Lumajang, dan juga Habib Muhammad Al-Muhdlar Bondowoso.
KH. Mohammad Hasan wafat pada malam Kamis, jam 23.30 tanggal 11 Syawal tahun 1374 h/01 Juni 1955 m.
Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamit Thorieq…

Dicopy dari : http://aka-ahsan.blogspot.com

Sang Pendekar Pagar Nusa

Pondok Pesantren dulunya tidak hanya mengajarkan ilmu agama dalam pengertian formal-akademis seperti sekarang ini, semisal ilmu tafsir, fikih, tasawuf, nahwu-shorof, sejarah Islam dan seterusnya. Pondok pesantren juga berfungsi sebagai padepokan, tempat para santri belajar ilmu kanuragan dan kebatinan agar kelak menjadi pendakwah yang tangguh, tegar dan tahan uji. Para kiainya tidak hanya alim tetapi juga sakti. Para kiai dulu adalah pendekar pilih tanding.

Akan tetapi belakangan ada tanda-tanda surutnya ilmu bela diri di pesantren. Berkembangnya sistem klasikal dengan materi yang padat, ditambah eforia pembentukan standar pendidikan nasional membuat definisi pesantren kian menyempit, melulu sebagai lembaga pendidikan formal.

Para ulama-pendekar merasa gelisah. H Suharbillah, seorang pendekar dari Surabaya yang gemar berorganisasi menemui KH Mustofa Bisri dari Rembang dan menceritakan kekhawatiran para pendekar. Mereka lalu bertemu dengan KH Agus Maksum Jauhari Lirboyo alias Gus Maksum yang memang sudah masyhur di bidang beladiri. Nama Gus Maksum memang selalu identik dengan “dunia persilatan”.

Pada tanggal 12 Muharrom 1406 M bertepatan tanggal 27 September 1985 berkumpulah mereka di pondok pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, untuk membentuk suatu wadah di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) yang khusus mengurus pencak silat. Musyawarah tersebut dihadiri tokoh-tokoh pencak silat dari daerah Jombang, Ponorogo, Pasuruan, Nganjuk, Kediri, serta Cirebon, bahkan dari pulau Kalimantan pun datang.

Musyawarah berikutnya diadakan pada tanggal 3 Januari 1986, di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, tempat berdiam Sang Pendekar, Gus Maksum. Dalam musyawarah tersebut disepakati pembentukan organisasi pencak silat NU bernama Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama “Pagar Nusa” yang merupakan kepanjangan dari “Pagarnya NU dan Bangsa.” Kontan para musyawirin pun menunjuk Gus Maksum sebagai ketua umumnya. Pengukuhan Gus Maksum sebagai ketua umum Pagar Nusa itu dilakukan oleh Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid dan Rais Aam KH Ahmad Sidiq.

Gus Maksum lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada tanggal 8 Agustus 1944, salah seorang cucu pendiri Pondok Pesantren Lirboyo KH Manaf Abdul Karim. Semasa kecil ia belajar kepada orang tuanya KH Abdullah Jauhari di Kanigoro. Ia menempuh pendidikan di SD Kanigoro (1957) lalu melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Lirboyo, namun tidak sampai tamat. Selebihnya, ia lebih senang mengembara ke berbagai daerah untuk berguru ilmu silat, tenaga dalam, pengobatan dan kejadukan (Dalam “Antologi NU” terbitan LTN-Khalista Surabaya).

Sebagai seorang kiai, Gus Maksum berprilaku nyeleneh menurut adat kebiasaan orang pesantren. Penampilannya nyentrik. Dia berambut gondrong, jengot dan kumis lebat, kain sarungnya hampir mendekati lutut, selalu memakai bakiak. Lalu, seperti kebiasaan orang-orang “jadug” di pesantren, Gus Maksum tidak pernah makan nasi alias ngerowot. Uniknya lagi, dia suka memelihara binatang yang tidak umum. Hingga masa tuanya Gus Maksum memelihara beberapa jenis binatang seperti berbagai jenis ular dan unggas, buaya, kera, orangutan dan sejenisnya.

Dikalangan masyarakat umum, Gus Maksum dikenal sakti mandaraguna. Rambutnya tak mempan dipotong (konon hanya ibundanya yang bisa mencukur rambut Gus Maksum), mulutnya bisa menyemburkan api, punya kekuatan tenaga dalam luar biasa dan mampu mengangkat beban seberat apapun, mampu menaklukkan jin, kebal senjata tajam, tak mempan disantet, dan seterusnya. Di setiap medan laga (dalam dunia persilatan juga dikenal istilah sabung) tak ada yang mungkin berani berhadapan dengan Gus Maksum, dan kehadirannya membuat para pendekar aliran hitam gelagapan. Kharisma Gus Maksum cukup untuk membangkitkan semangat pengembangan ilmu kanuragan di pesantren melalui Pagar Nusa.

Sebagai jenderal utama “pagar NU dan pagar bangsa” Gus Maksum selalu sejalur dengan garis politik Nahdlatul Ulama, namun dia tak pernah terlibat politik praktis, tak kenal dualisme atau dwifungsi. Saat kondisi politik memaksa warga NU berkonfrontasi dengan PKI Gus Maksum menjadi komandan penumpasan PKI beserta antek-anteknya di wilayah Jawa Timur, terutama karesidenan Kediri. Ketika NU bergabung ke dalam PPP maupun ketika PBNU mendeklarasikan PKB, Gus Maksum selalu menjadi jurkam nasional yang menggetarkan podium. Namun dirinya tidak pernah mau menduduki jabatan legislatif ataupun eksekutif. Pendekar ya pendekar! Gus Maksum wafat di Kanigoro pada 21 Januari 2003 lalu dan dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Lirboyo dengan meninggalkan semangat dan keberanian yang luar biasa.

Sumber : NU Online

Biografi KH. Ali Maksum Yogyakarta

Ali bin Maksum bin Ahmad dilahirkan di Lasem Rembang Jawa Tengah pada tanggal 2 Maret 1915. Ayahnya, Maksum adalah pendiri Pondok Pesantren Al-hidayah Lasem Rembang. Nama aslinya hanyalah Ali. Sedangkan Nama Ali Maksum adalah gabungan dari nama ayahnya.
Ali Maksum dikenal sebagai gurunya para intelektual Muslim. Di antara para intelektual Muslim yang pernah berguru kepadanya adalah, KH Abdurrahman Wahid, KH Chalil Bisri, KH Masdar Farid Mas’udi, KH Ahmad Musthofa Bisri, dan sebagainya.
Menurut Gus Mus, panggilan akrab KH Ahmad Musthofa Bisri, KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah guru yang paling banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiai itu memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni.
Semasa kecil Ali Maksum dibimbing langsung oleh ayahnya. Sejak usia dini, ia sudah akrab dengan dunia pesantren dan kitab kuning. Pertama kali, Ali Maksum diajari mengaji Alquran oleh ayahnya. Setelah lancar, Ali Maksum dikirim ayahnya untuk belajar di Pondok Pesantren Termas Pacitan di bawah asuhan KH Dimyati. Sejak di Termas inilah, Ali Maksum terlihat menonjol dan akhirnya ikut membantu gurunya mengajar dan mengurus pesantren dan membuat karangan tulisan.
Ali Maksum dikenal cerdas dan tekun. Ia akhirnya ditunjuk menjadi kepala madrasah di Pondok Pesantren Termas Pacitan. Selama delapan tahun di Termas, Ali Maksum mempelajari dan menguasai berbagai cabang ilmu agama.
Setelah dewasa, Ali Maksum menikah dengan Hasyimah, putri KH M Munawwir al-Hafidh al-Muqri Krapyak Yogyakarta. Tidak lama setelah menikah, dengan dibantu oleh seorang saudagar Kauman Yogyakarta Ali Maksum berhaji ke Mekah. Kesempatan ini beliau gunakan pula untuk belajar ilmu agama kepada para ulama Mekah.
Di Mekah, Ali Maksum belajar agama kepada Sayyid Alwi al-Maliki al-Hasani, Syaikh Masyayikh Hamid Mannan, Syaikh Umar Hamdan, dan lain-lain. Ketekunan dan kecerdasannya, akhirnya mengantarkan dirinya menjadi ulama yang fasih berbahasa Arab.
Setelah dua tahun mengaji di Mekah, Ali Maksum kembali ke tanah Jawa pada masa pemerintahan Jepang tahun 1942. Ketika itu pesantren ayahnya di Lasem nyaris bubar. Sedianya beliau hendak tinggal di Lasem membantu ayahnya mengembangkan pesantren. Namun, sepeninggal KH Munawwir Krapyak, pondok Krapyak membutuhkan dirinya untuk melanjutkan perjuangan di bidang pendidikan. Bersama-sama dengan KH R Abdullah Affandi Munawwir dan KH R Abdul Qadir Munawwir, ia menghabiskan umur dan segenap daya upaya untuk merawat dan mengembangkan pondok Krapyak. Dari pondok Krapyak inilah cikal bakal pesantren Alquran di Indonesia.
Pesantren yang diasuhnya semakin mengalami perkembangan. Dalam bidang pendidikan pesantren, Ali Maksum merintis pola semi modern dengan sistem klasikal hingga berkembanglah madrasah-madrasah hingga saat ini. Dari kesabaran dalam berjuang pondok Krapyak yang diasuhnya telah berdiri dan berkembang Taman Kanak-Kanak, Madrasah Diniyyah, Madrasah Tsanawiyyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Tahfidzil Quran dan Madrasah Takhassusiyah untuk para santri mahasiswa. Di samping itu kemajuan telah dicapainya dalam bentuk pembangunan sarana dan prasarana fisik.
Selain mengasuh pesantren, Ali Maksum juga diminta untuk menjadi dosen luar biasa pada Institut Agama Islam Negeri (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di bidang kemasyarakatan dan politik, Ali Maksum pernah menjadi anggota majlis Konstituante, sebuah lembaga pembuat Undang-Undang Dasar pada masa rezim Orde Lama.
Dalam organisasi Nahdlatul Ulama, Ali Maksum pernah memangku jabatan sebagai Rais ‘Am Syuriyyah yang mengantarkan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama keluar dari jalur politik pada masa rejim Orde Baru.
Sejak tahun 1970, Ali Maksum telah memangku jabatan Rais Syuriah Pengurus wilayah NU Yogyakarta. Ia terpilih sebagai Rais ‘Am Syuriah Pengurus Pusat Nahdhatul ‘Ulama dalam musyawarah alim ulama NU di Kaliurang Yogyakarta pada tahun 1981.
Pada tahun 1984, pada muktamar ke-27 di Sitobondo, Ali Maksum terpilih sebagai penasihat dan muktasyar PBNU sampai wafatnya.
Di sela-sela mengasuh ribuan santrinya, Ali Maksum masih saja menyempatkan diri untuk memberikan pengajian di masyarakat. Ali Maksum telah menulis beberapa kitab, di antaranya; Hujjah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Argumentasi Ahlussunnah wal jama’ah), Tasriful Kalimah fis Shorf (Tasrif Kalimah dalam Shorof), Mizan al-‘Uqul fi ‘Ilmil Manthiqi (Morfologi Arab yang Jelas), Ilmu Mantiq dan beberapa kitab berbahasa Arab lainnya.
Dari Pondok Krapyak yang dipimpinnya itu telah dilahirkan ratusan kyai dari ribuan santri yang mengaji pada beliau pada kurun 1946 hingga 1989. Pondok Krapyak, beberapa hari sebelum dirinya meninggal, menjadi tempat penyelenggara Muktamar Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, pertemuan paling bergengsi organisasi para ulama Indonesia.
KH Ali Maksum wafat pada tangga 7 Desember 1989. Dimakamkan di Dongkelan Bantul Yogyakarta. Sekarang, pengelolaan Pondok Pesantren ditangani oleh lembaga berbadan hukum dengan nama Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta dipimpin oleh KH Attabik Ali, putra pertama dari KH Ali Maksum.

Biografi Syekh Ihsan Jampes

Syaikh Ihsan lahir pada 1901 M. dengan nama asli Bakri, dari pasangan KH. Dahlan dan Ny. Artimah. KH. Dahlan, ayah Syaikh Ihsan, adalah seorang kiai yang tersohor pada masanya; dia pula yang merintis pendirian Pondok Pesantren Jampes pada tahun 1886 M.
Tidak banyak yang dapat diuraikan tentang nasab Syaikh Ihsan dari jalur ibu. Yang dapat diketahui hanyalah bahwa ibu Syaikh Ihsan adalah Ny. Artimah, putri dari KH. Sholeh Banjarmelati-Kediri. Sementara itu, dari jalur ayah, Syaikh Ihsan adalah putra KH. Dahlan putra KH. Saleh, seorang kiai yang berasal dari Bogor Jawa Barat, yang leluhurnya masih mempunyai keterkaitan nasab dengan Sunan Gunung jati (Syayrif Hidayatullah) Cirebon.
Terkait dengan nasab, yang tidak dapat diabaikan adalah nenek Syaikh Ihsan (ibu KH. Dahlan) yang bernama Ny. Isti’anah. Selain Ny. Isti’anah ini memiliki andil besar dalam membentuk karakter Syaikh Ihsan, pada diri Ny. Isti’anah ini pula mengalir darah para kiai besar. Ny. Isti’anah adalah putrid dari KH. Mesir putra K. Yahuda, seorang ulama sakti mandraguna dari Lorog Pacitan, yang jika urutan nasabnya diteruskan akan sampai pada Panembahan Senapati, pendiri Kerajaan Mataram pada abad ke-16. Itu dari jalur ayah. Adapun dari jalur ibu, Ny. Isti’anah adalah cicit dari Syaikh Hasan Besari, seorang tokoh masyhur dari Tegalsari Ponorogo yang masih keturunan Sunan Ampel Surabaya.
Berikut bagan nasab Syaikh Ihsan Jampes
Ny. Isti’anah + KH. Saleh
Pertumbuhan dan Rihlah ‘Ilmiah
Syaikh Ihsan kecil, atau sebut saja Bakri kecil, masih berusia 6 tahun ketika kedua orang tuanya memutuskan untuk bercerai. Setelah perceraian itu, Bakri kecil tinggal dilingkungan pesantren bersama sang ayah, KH. Dahlan, dan diasuh oleh neneknya, Ny. Isti’anah.
Semasa kecil, Bakri telah memiliki kecerdasan pikiran dan terkenal memiliki daya ingat yang kuat. Ia juga tekun membaca buku, baik yang berupa kiatab-kitab agama maupun bidang lain, termasuk majalah dan Koran. Selain itu, satu hal yang nyeleneh adalah kesukaannya menonton wayang. Di mana pun pertunjukan wayang digelar, Bakri kecil akan mendatanginya; tak peduli apakah seorang dalang sudah mahir ataukah pemula. Karena kecerdasan dan penalarannya yang kuat, ia menjadi paham benar berbagai karakter dan cerita pewayangan. Bahkan, ia pernah menegur dan berdebat dengan seorang dalang yang pertujukan wayangnya melenceng dari pakem.
Kebiasan Bakri kecil yang membuat risau seluruh keluarga adalah kesukaannya berjudi. Meski judi yang dilakukan Bakri bukan sembarang judi, dalam arti Bakri berjudi hanya untuk membuat kapok para penjudi dan Bandar judi, tetap saja keluarganya merasa bahwa perbuatan Bakri tersebut telah mencoreng nama baik keluarga. Adalah Ny. Isti’anah yang merasa sangat prihatin dengan tingkah polah Bakri, suatu hari mengajaknya berziarah ke makam para leluhur, khususnya makam K. Yahuda di Lorog Pacitan. Di makam K. Yahuda inilah Ny. Isti’anah mencurahkan segala rasa khawatir dan prihatinnya atas kebandelan cucunya itu.
Konon, beberapa hari setelah itu, Bakri kecil bermimpi didatangi oleh K. Yahuda. Dalam mimpinya, K. Yahuda meminta Bakri untuk menghentikan kebiasaan berjudi. Akan tetapi, Karena Bakri tetap ngeyel, K. Yahuda pun bersikap tegas. Ia mengambil batu besar dan memukulnya ke kepala Bakri hingga hancur berantakan. Mimpi inilah yang kemudian menyentak kesadaran Bakri; sejak saat itu ia lebih kerap menyendiri, merenung makna keberadaannya di dunia fana.
Setelah itu, untuk pertama kali dalam hidupnya, ia keluar dari pesantren ayahnya untuk melalalng buana mencari ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Beberapa pesantren yang sempat disinggahi oleh Bakri diantaranya:
1. Pesantren Bendo Pare Kediri asuhan KH. Khozin (paman Bakri sendiri),
2. Pondok Pesantren Jamseran Solo,
3. Pondok Pesantren asuhan KH. Dahlan Semarang,
4. Pondok Pesantren Mangkang Semarang,
5. Pondok Pesantren Punduh Magelang
6. Pondok Pesantren Gondanglegi Nganjuk,
7. Pondok Pesantren Bangkalan Madura asuhan KH. Kholil, sang ‘Guru Para Ulama’.
Yang unik dari rihlah ‘ilmiah yang dilakukan Bakri adalah bahwa ia tidak pernah menghabiskan banyak waktu di pesantren-pesantren tersebut. Misalnya, untuk belajar Alfiah Ibnu Malik dari KH. Kholil Bangkalan, ia hanya menghabiskan waktu dua bulan; belajar falak kepada KH. Dahlan Semarang ia hanya tinggal di pesantrennya selama 20 hari; sedangkan di Peantren Jamseran ia hanya tinggal selama satu bulan. Namun demikian, ia selalu berhasil menguasai dan ‘memboyong’ ilmu para gurunya tersebut dengan kemampuan di atas rata-rata.
Satu lagi yang unik, di setiap pesantren yang ia singgahi, Bakri selalu ‘menyamar’. Ia tidak mau dikenal sebagai ‘gus’ (sebutan anak kiai); tidak ingin diketahui identitas aslinya sebagai putra kiai tersohor, KH. Dahlan Jampes. Bahkan, setiap kali kedoknya terbuka sehingga santri-santri tahu bahwa ia adalah gus dari Jampes, dengan serta merta ia akan segera pergi, ‘menghilang’ dari pesantren tersebut untuk pindah pesantren lain.
Mengasuh Pesantren dan Masyarakat
Pada 1926, Bakri menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah, namanya diganti menjaid Ihsan. Dua tahun kemudian, Ihsan berduka karena sang ayah, KH. Dahlan, dipanggil oleh Allah SWT. Semenjak itu, kepemimpinan PP Jampes dipercayakan kepada adik KH. Dahlan, yakni KH. Kholil (nama kecilnya Muharror). Akan tetapi, dia mengasuh Pesantren Jampes hanya selama empat tahun. Pada 1932, dengan suka rela kepemimpinan Pesantren Jampes diserahkannya kepada Ihsan. Sejak saat itulah Ihsan terkenal sebagai pengasuh Pesantren Jampes.
Ada banyak perkembangan signifikan di Pesantren Jampes setelah Syaikh Ihsan diangkat sebagai pengasuh. Secara kuantitas, misalnya, jumlah santri terus bertambah dengan pesat dari tahun ke tahun (semula ± 150 santri menjadi ± 1000 santri) sehingga PP Jampes harus diperluas hingga memerlukan 1,5 hektar tanah. Secara kualitas, materi pelajaran juga semakin terkonsep dan terjadwal dengan didirikannya Madrasah Mafatihul Huda pada 1942.
Sebagai seorang kiai, Syaikh Ihsan mengerahkan seluruh perhatian, pikiran dan segenap tenaganya untuk ‘diabdikan’ kepada santri dan pesantren. Hari-harinya hanya dipenuhi aktivitas spiritual dan intelektual; mengajar santri (ngaji), shalat jama’ah, shalat malam, muthola’ah kitab, ataupun menulis kitab. Meskipun seluruh waktunya didesikannya untuk santri, ternyata Syaikh Ihsan tidak melupakan masyarakat umum. Syaikh Ihsan dikenal memiliki lmu hikmah dan menguasai ketabiban. Hampir setiap hari, di sela-sela kesibukannya mengajar santri, Syaikh Ihsan masih sempat menerima tamu dari berbagai daerah yang meminta bantuannya.
Pada masa revolusi fisik 1945, Syaikh Ihsan juga memiliki andil penting dalam perjuangan bangsa. PP Jampes selalu menjadi tempat transit para pejuang dan gerilyawan republik yang hendak menyerang Belanda; di Pesantren Jampes ini, mereka meminta doa restu Syaikh Ihsan sebelum melanjutkan perjalanan. Bahkan, beberapa kali Syaikh Ihsan turut mengirim santri-santrinya untuk ikut berjuang di garis depan. Jika desa-desa di sekitar pesantren menjadi ajang pertempuran, penduduk yang mengungsi akan memilih pp jampes sebagai lokasi teraman, sementara Syaikh Ihsan membuka gerbang pesantrenya lebar-lebar.
Wafat dan Warisan Syaikh Ihsan
Senin, 25 Dzul-Hijjah 1371 H. atau September 1952, Syaikh Ihsan dipanggil oleh Allah SWT, pada usia 51 tahun. Dia meninggalkan ribuan santri, seorang istri dan delapan putra-puteri. Tak ada warisan yang terlalu berarti dibandingkan dengan ilmu yang telah dia tebarkan, baik ilmu yang kemudian tersimpan dalam suthur (kertas: karya-karyanya yang ‘abadi’) maupun dalam shudur (memori: murid-muridnya).
Beberapa murid Syaikh Ihsan yang mewarisi dan meneruskan perjuangannya dalam berdakwah melalui pesantren adalah:

(1) Kiai Soim pengasuh pesantren di Tangir Tuban;

(2) KH. Zubaidi di Mantenan Blitar;

(3) KH. Mustholih di Kesugihan Cilacap;

(4) KH. Busyairi di Sampang Madura;

(5) K. Hambili di Plumbon Cirebon;

(6) K. Khazin di Tegal, dan lain-lain.
Sumbangan Syaikh Ihsan yang sangat besar adalah karya-karya yang ditinggalkannya bagi masyarakat muslim Indonesia, bahkan umat Islam seluruh dunia. Sudah banyak pakar yang mengakui dan mengagumi kedalaman karya-karya Syaikh Ihsan, khususnya masterpiecenya, siraj ath-Thalibin, terutama ketika kitab tersebut diterbitkan oleh sebuah penerbit besar di Mesir, Musthafa al-Bab- al-Halab. Sayangnya, di antara kitab-kitab karangan Syaikh Ihsan, baru siraj ath-Thalibinlah yang mudah didapat. Itu pun baru dapat dikonsumsi oleh masyarakat pesantren sebab belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Berikut daftar karya Syaikh Ihsan Jampes yang terlacak:

  1. Tashrih al-Ibarat (syarah dari kitab Natijat al-Miqat karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), terbit pada 1930 setebal 48 halaman. Buku ini mengulas ilmu falak (astronomi).
  2. siraj ath-Thalibin (syarah dari kitab Minhaj al-Abidin karya Imam al-Ghazali), terbit pada 1932 setebal ± 800 halaman. Buku ini mengulas tasawuf.
  3. Manahij al-Imdad (syarah dari kitab Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari), terbit pada 1940 setebal ± 1088 halaman, mengulas tasawuf.
  4. Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan (adaptasi puitik [plus syarah] dari kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Bayani al-Qahwah wa ad-Dukhan karya KH. Ahmad Dahlan Semarang), t.t., tebal ± 50 halaman. Buku ini berbicara tentang polemik hokum merokok dan minum kopi.

(Dihimpun dari berbagai sumber, terutama dari buku “Syaikh Ihsan Muhammad Dahlan al-Jampesi al-Kediri” karya KH. Busyro A. Mughni [t.p., t.t.] dan buku “Jejak Sepiritual Kiai Jampes” karya Murtadho Hadi [Pustaka Pesantren, 2007])

KH. Mukhtar Syafaat Banyuwangi

Sejarah Pendiri Pondok Pesantren Darussalam
Salah satu ulama terkemuka di Banyuwangi ini terkenal dengan sikap dan perilaku yang menjadi panutan umat. Dialah KH Mukhtar Syafa’at, pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Jajag, Banyuwangi.

Suatu waktu, Kyai Dimyati (putra KH Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling. Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kyai Syafa’at sedang mengajar, Kyai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meningalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.

Perjuangan beliau dimulai dari musholla milik kakaknya. Mula-mula beliau mengajarkan Al Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar, dan diikuti oleh para santri yang dulu pernah belajar di Pondok Pesantren Jalen. Beberapa bulan berikutnya musholla tersebut tidak dapat lagi menampung para santri yang ingin belajar kepadanya.

Melihat kondisi yang demikian, Kyai Syafa’at merasa prihatin sehingga berkeinginan untuk pindah ke luar daerah Blokagung. Namun oleh Kyai Sholehan dilarang dan bahkan kemudian dinikahkan dengan seorang gadis bernama Siti Maryam, putri dari bapak Karto Diwiryo Abdul Hadi.

Setelah menikah, beliau pindah ke rumah mertuanya. Di tempat yang baru ini juga sudah ada mushollanya dengan ukuran 7 x 7 meter. Dalam kurun waktu satu tahun, jumlah santri yang belajar bertambah banyak sehingga musholla ini juga tidak cukup untuk menampung santri. Kemudian muncullah ide untuk mendirikan sebuah masjid yang lebih besar untuk keperluan sholat dan belajar. Beliau memerintahkan para santri untuk mengumpulkan bahan bangunan untuk keperluan pendirian masjid. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 15 Januari 1951. Dalam perkembangan selanjutnya tanggal inilah yang dijadikan sebagai peringatan berdirinya Pondok Pesantren Darussalam Blokagung. Dalam mendirikan pondok pesantren ini beliau dibantu oleh temanya Kyai Muhyidin dan Kyai Mualim.

Itulah sekilas latar belakang KH Muktar Syafa’at Abdul Ghafur seorang ulama dan guru panutan umat. Ia lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, 6 Maret 1919. Ia adalah putra keempat dari pasangan suami-isteri KH Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep. Kalau dilihat dari silsilah keturunan, KH Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang dan ulama, dari silsilah ayahnya, KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kyai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) dan garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kyai Abdurrohman bin Kyai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).

Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke mushola terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kyai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.

Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf.

Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren. Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.

Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syeikh Imam Al-Ghozali.

Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktekan secara langsung seperti saat mandi, shalat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.

Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Mukhtar Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.

Pengembaraan Kyai Syafaat dalam menuntut ilmu adalah perjalanan panjang yang menuntut perjuangan, ketabahan hati dan pengorbanan. Ia seringkali dalam situasi dan kondisi yang memprihatinkan. Salah seorang sahabatnya ketika belajar di Ponpes Tasmirit Tholabah, KH Mu’allim Syarkowi menuturkan keadaannya, ”KH Syafa’at (Alm.) ketika belajar di Pondok Tasmirit Tholabah, Jalan Genteng Banyuwangi, sangatlah menderita. Ia sering jatuh sakit, terutama penyakit kudis (gudik). Disamping itu, ia tidak mendapat kiriman dari orang tuanya sehingga harus belajar sambil bekerja. Apabila musim tanam dan musim panen tiba, kami harus mendatangi petani untuk bekerja. Pagi-pagi benar kami harus sudah berangkat dan menjelang Dzuhur kami baru pulang. Sedangkan malam hari kami gunakan untuk belajar mengaji.”

Walaupun dalam kondisi yang memprihatinkan, Kyai Syafa’at tetap bersikeras untuk mendalami ilmu-ilmu agama Islam. Semasa masa pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945, ia juga turut berperan aktif dalam bela negara dan merebut kemerdekaan RI. Oleh teman-teman seperjuangan, ia diangkat sebagai juru fatwa dan sumber ide dalam penyerangan. Setiap akan melangkah, mereka meminta pertimbangan dahulu kepada Syafa’at.

Pada jaman pendudukan Jepang, Syafa’at tidak luput dari gerakan Dai Nippon Jepang yang bernama Hako Kotai, yaitu gerakan pemerasan terhadap harta, jiwa dan harta bangsa Indonesia demi kemenangan Perang Asia Timur Raya. dalam gerakan ini, Syafa’at diwajibkan mengikuti kerja paksa selama 7 hari di Tumpang Pitu (pesisir laut pantai selatan teluk Grajagan dan Lampon). Ia dipekerjakan sebagai penggali parit perlindungan tentara Jepang.

Saat Belanda mendarat di pelabuhan Meneng, Sukowati, Banyuwangi Syafa’at tidak tinggal diam. Ia bergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat yang dipimpin Kapten Sudarmin. Syafa’at juga turut aktif melakukan penyerbuan ke kamp-kamp tentara Belanda saat perang gerilya dengan bergabung dalam Font Kayangan Alas Purwo dan Sukamande kecamatan Pesangaran yang dipimpin Kyai Muhammad dan Kyai Musaddad.

Lepas dari alam penjajahan Jepang dan Belanda, tepatnya pada tahun 1949 ia mulai merintis berdirinya Pesantren Darussalam. Setelah melalui perjuangan yang berat, pesantren Darussalam akhirnya berkembang dari waktu ke waktu dan jumlah santrinya pun semakin bertambah banyak. Ini tak lepas dari sosok pendiri dan pengasuh pesantren KH Syafa’at yang menjadi sosok teladan sekaligus panutan umat.

Ia juga kerap dimintai pertolongan untuk melakukan pengobatan masyarakat. Dengan cara menulis lafadz ya’lamuuna, selepas itu pada huruf ‘Ain ditancapkan paku sambil dipukul palu. Sesekali KH Syafa’at menanyai pasien, apakah masih sakit atau tidak. Kalau masih sakit, dipukul lagi dan jika makin parah maka pada huruf Mim juga akan ditancapkan paku dan dipukul lagi sebagaimana huruf ‘Ain. Konon, pengobatan tradisional ini banyak melegakan pasien. Selain itu, ia juga sering dimintai untuk mengobati dan menangkal gangguan santet dan sejenisnya. Sehingga rumahnya kerap dikunjungi para tamu dari berbagai daerah. “Kalau kalian mengetahui ada tamu, maka beri tahu saya. Kalau saya tidak ada atau bepergian, silahkan tamu tersebut singgah ke rumah barang sejenak dan hormatilah mereka dengan baik. Kemudian, pintu rumah jangan ditutup sebelum jam 22.00,” demikian pesan KH. Syafa’at kepada keluarga dan para santri.

KH Syafaat juga dikenal sebagai pribadi yang penuh kesedehanaan, qana’ah, teguh menjaga muru’ah (harga diri) dan luhur budinya. Ia tidak pernah merasa rendah di hadapan orang-orang yang kaya, apalagi sampai merendahkan diri pada mereka dan ia tidak malas beribadah karena kefakirannya. Bahkan jika disedekahi harta, ia tidak mau menerima. Sekalipun diterima itu pun hanya sebatas yang diperlukan saja, tidak tamak untuk mengumpulkannya.

Bahkan Kyai Sya’aat dikenal punya semangat memberi dan memuaskan setiap orang yang datang kepadanya. Pernah suatu saat Kyai Syafa’at akan berangkat Haji, terlebih dahulu ia berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya. Lepas dari komplek makam, ia bertemu dengan ratusan pengemis dan ia memberikan shodaqah kepada para pengemis di sekitar makam sampai uangnya habis. Bahkan karena sebagian pengemis itu tidak kebagian, ia kemudian menyuruh salah satu santrinya untuk mencarikan hutangan sejumlah empat juta rupiah kepada Masyhuri di Surabaya untuk disedekahkan kepada para pengemis yang tidak kebagian.

Tidak hanya itu, sering uang bisyaroh selepas mengisi pengajian di banyak tempat di berikan langsung kepada orang-orang yang tidak dikenalnya, tanpa menghitung jumlah uang yang diterimanya. Selain dermawan akan harta dan ilmu, KH Syafa’at dikenal seorang ulama yang wira’i ( menjaga kehormatan).

Suatu ketika Kyai bepergian dengan ditemani oleh salah satu sopir, H Mudhofar, sampai di Karangdoro mobilnya rusak (mogok). Akhirnya mobil dibenahi dan oleh H. Mudhofar diambilkan batu bata untuk mengganjal mobil, di salah satu perumahan penduduk. Setelah selesai, mobil berjalan dan KH Syafa’at bertanya, ”Batu bata itu milik siapa? Kalau punya orang, kembalikan!” Akhirnya mobil berhenti dan batu bata tersebut oleh H. Mudhofar dikembalikan ke tempatnya semula.

Selain aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, KH. Syafa’at juga aktif dalam Jami’ah Keagamaan Nahdlatul Ulama. Tercatat, ia pernah menjadi pengurus dari tingkat ranting sampai cabang. Jabatan terakhirnya adalah sebagai salah satu Musytasyar wilayah Banyuwangi, Jawa Timur.

KH Syafa’at pada hari Jumat malam, 1 Februari 1991 (17 Rajab 1411 H) dengan meninggalkan 14 anak (10 putra, 4 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Siti Maryam dan 7 anak (4 putra, 3 putri) dari perkawinannya dengan Nyai Hj Musyarofah. Jenazah setelah disemayamkan di rumah duka dan dishalati oleh mu’aziyin sampai 17 kali kemudian dimakamkan komplek makam keluarga, sekitar 100 meter arah utara dari Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi.