Biografi KH. Muhammad Kholil Bangkalan

Muhammad Khalil Al Maduri

(1235 – 1341 H / 1820 – 1923 M)

Tak pernah malu belajar, kendati gurunya sangat jauh lebih muda darinya. Dari Syekh Ahmad al-Fathani yang seusia anaknya, ia belajar ilmu nahwu dan mengembangkannya di Tanah Air.

Nama lengkapnya adalah Kiai Haji Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiai Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiai Abdullah bin Sayid Sulaiman. Nama terakhir dalam silsilahnya, Sayid Sulaiman, adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan Wali Songo.

Kiai Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jamadil akhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Dia berasal dari keluarga ulama. Pendidikan dasar agama diperolehnya langsung daripada keluarga. Menjelang usia dewasa, ia dikirim ke berbagai pondok pesantren untuk menimba ilmu agama.

Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiai Muhammad Khalil belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan, ia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan, dan Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini, ia belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi.

Saat menjadi santri, Muhammad Khalil telah menghafal beberapa matan dan yang ia kuasai dengan baik adalah matan Alfiyah Ibnu Malik yang terdiri dari 1.000 bait mengenai ilmu nahwu. Selain itu, ia adalah seorang hafidz (hafal Alquran) dengan tujuh cara membacanya (kiraah).

Pada 1276 Hijrah 1859, Kiai Muhammad Khalil melanjutkan pelajarannya ke Makkah. Di sana, ia bersahabat dengan Syekh Nawawi Al-Bantani. Ulama-ulama Melayu di Makkah yang seangkatan dengannya adalah Syekh Nawawi al-Bantani (lahir 1230 Hijrah/1814 Masehi), Syekh Muhammad Zain bin Mustafa al-Fathani (lahir 1233 Hijrah/1817 Masehi), Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani (lahir 1234 Hijrah/1818 Masehi), dan Kiai Umar bin Muhammad Saleh Semarang.

Ia adalah orang yang tak pernah lelah belajar. Kendati sang guru lebih muda, namun jika secara keilmuan dianggap mumpuni, maka ia akan hormat dan tekun mempelajari ilmu yang diberikan sang guru. Di antara gurunya di Makkah adalah Syekh Ahmad al-Fathani. Usianya hampir seumur anaknya. Namun karena tawaduknya, Kiai Muhammad Khalil menjadi santri ulama asal Patani ini.

Kiai Muhammad Khalil Al-Maduri termasuk generasi pertama mengajar karya Syeikh Ahmad al-Fathani berjudul Tashilu Nailil Amani, yaitu kitab tentang nahwu dalam bahasa Arab, di pondok pesantrennya di Bangkalan. Karya Syekh Ahmad al-Fathani yang tersebut kemudian berpengaruh dalam pengajian ilmu nahwu di Madura dan Jawa sejak itu, bahkan hingga sekarang masih banyak pondok pesantren tradisional di Jawa dan Madura yang mengajarkan kitab itu.

Kiai Muhammad Khalil juga belajar ilmu tarikat kepada beberapa orang ulama tarikat yang terkenal di Mekah pada zaman itu, di antaranya Syekh Ahmad Khatib Sambas. Tarikat Naqsyabandiyah diterimanya dari Sayid Muhammad Shalih az-Zawawi.

Sewaktu berada di Makkah, ia mencari nafkah dengan menyalin risalah-risalah yang diperlukan para pelajar di sana. Itu pula yang mengilhaminya menyususn kaidah-kaidah penulisan huruf Pegon bersama dua ulama lain, yaitu Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Saleh as-Samarani. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Sepulang dari Makkah, ia tersohor sebagai ahli nahwu, fikih, dan tarikat di tanah Jawa. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah barat laut dari desa kelahirannya. Pondok-pesantren tersebut kemudian diserahkan pimpinannya kepada anak saudaranya, sekaligus adalah menantunya, yaitu Kiai Muntaha. Kiyai Muntaha ini kawin dengan anak Kiyai Muhammad Khalil bernama sendiri mengasuh pondok pesantren lain di Bangkalan.

Kiai Muhammad Khalil juga pejuang di zamannya. memang, saat pulang ke Tanah Air ia sudah uzur. Yang dilakukannya adalah dengan pengkader para pemuda pejuang di pesantrennya untuk berjuang membela negara. Di antara para santrinya itu adalah :

  1. KH Hasyim Asy’ari (Pendiri Pondok-Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas berdirinya Nahdhatul Ulama),
  2. KH Abdul Wahhab Hasbullah (Pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang);
  3. KH Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar)
  4. KH Ma’shum (Pendiri Pondok Pesantren Lasem Rembang).
  5. KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang).
  6. KH. Muhammad Hasan Genggong (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong).
  7. KHR. Syamsul Arifin (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo).
  8. KHR. As’ad Syamsul `Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo).
  9. KH. Muhammad Shiddiq (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Jember ).
  10. KH. Zaini Mun’im (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo).
  11. KH. Abdullah Mubarak (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya).
  12. KH. Asy’ari (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tholabah Wonosari Bondowoso).
  13. KH. Abi Sujak (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep).
  14. KH. Abdul Aziz Ali Wafa (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Bustanul ‘Ulum Jember ).
  15. KH. Masykur (Banyak berkiprah di bidang politik dan kenegaraan. Menjadi Panglima Sabilillah, Ketua Umum PBNU).
  16. KH. Asmuni (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Asmuni Tarateh Sumenep).
  17. KH. Karimullah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Taman, Bondowoso, sekarang dikenal dengan Pondok Pesantren Miftahul Ulum).
  18. KH. Abdul Karim (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboya Kediri ).
  19. KH. Munawwir (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta ).
  20. KH. Khozin (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo ).
  21. KH. Nawawi Bin KH. Nur Hasan (Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan ).
  22. KH. Abdullah Faqih Bin Umar (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Cemoro Rogojampi Banyuwangi ).
  23. KH. Yasin Bin Rais (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Sunniyah Pasuruan ).
  24. KH. Tholhah Rawi (Penerus, Pengasuh Pondok Pesantren Sumur Nangka  Mudung ).
  25. Kh. Abdul Fatah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fatah Tulungagung ).
  26. KH. Ridwan Bin Ahmad (Sedayu Gresik, Hafidz Al-Qur’an, Pakar Ilmu Hisab )
  27. KH. Ahmad Qusyairi (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan ).
  28. Kh. Ramli Tamim (Penerus, Pengasuh Pondok Pesantren Darul ’Ulum Paterongan Jombang ).
  29. KH. Ridwan Abdullah ( Pencipta Lambang NU ).
  30. KH. Abdul hamid bin Itsbat (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darul ’Ulum Banyuanyar Pamekasan Madura ).
  31. KH. Abdul Madjid bin KH. Abdul Hamid (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Manba’ul ’Ulum Bata-bata Pamekasan Madura ).
  32. KH. Muhammad Thoha Jamaluddin (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Simbergayam Pamekasan Madura ).
  33. KH. Djazuli Utsman (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri ).
  34. KH. Hasan Musthofa ( Garut, Jawa Barat ).
  35. KHR. Faqih Maskumambang ( Gresik Jawa Timur ).
  36. KH. Yatawi ( Puger Jember )
  37. KH. Abdul Wahab (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Huda Penataban Banyuwangi ).
  38. KH. Ma’ruf ( Kedunglo, Kediri Jawa Timur ).
  39. KH. Harun (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Najah Tukangkayu Banyuwangi ).
  40. KH. Moh. Hasan Abdullah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Hikmatul Hasan Kalipuro Banyuwangi ).
  41. Dr. Ir. Soekarno ( Proklamtor Kemerdekaan Indonesia, Presiden RI Pertama ) Meskipun Bung Karno tidak resmi sebagai santri, namun ketika sowan ke Bangkalan Kiai Kholil meniup ubun-ubunnya.
  42. Sayyid Ali Bafaqih ( Negara Bali )

Dan masih banyak lagi para santri yang belum sempat ditulis melalui media ini.
Kiai Muhammad Khalil al-Maduri wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah, bertepatan dengan tanggal 14 Mei 1923 Masehi.

Sumber : Biorafi dan Karomah Kiai Kholil Bangkalan – Saifur Rachman – Pustaka Ciganjur

Keterangan :

Perlu kami klarifikasi sesuai dengan keterangan dari keluarga Bani Khlolil di beberapa media bahwa foto yang tercantum di atas bukanlah fotonya KH Muhammad KHolil Bin Abd Latif Bangkalan, tapi Foto dari Raden Kemmoh / H.Kholil Karang Bhutoh Bangkalan

Seluruh keluarga bani kholil bangkalan telah menelusuri tentang foto KH Kholil bin Abd latif sampai saat ini belum dan tak pernah ada bahkan putra beliau yang bernama KH Imron bin KH Kholil sempat di foto namun tidak bisa tertangkap oleh kamera.

Terima Kasih.

Idul Fitri Sebagai sarana perubahan menuju Taqwallah

HAKIKAT IDUL FITRI

SEBAGAI SARANA PERUBAHAN MENUJU TAQWALLAH

Idul Fitri adalah merupakan hari bahagia sekaligus hari kemenangan yang telah dijanjikan oleh oleh Allah kepada semua hambanya yang telah menunaikan ibadah puasa. Janji Allah itu tak lain adalah Idul Fitri, yaitu kembali kepada kesucian, kembali suci seperti bayi saat dilahirkan oleh ibunya. Dan janji itu tidak diberikan kepada sembarang orang, melainkan qiyamullail dan melaksanakan amalan-amalan sunnat lainnya. Janji itu sebagaimana telah diungkapkan oleh Nabi Agung Rasulullah Muhammad SAW dalam sabdanya  yang artinya;

Bulan Ramadhan adalah bulan yang Allah mewajibkan puasa dan Aku sunnatkan qiyamullail kepadamu. Barangsiapa yang berpuasa dan melakukan qiyamullail karena iman dan mengharapkan rahmat Allah, maka dosanya akan bersih sepertia saat dilahirkan ibunya. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)

Inilah kakikat Idul Fitri yang telah dijanjikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya yang menunaikan ibadah puasa dan malam harinya selalu menunaikan qiyamullail. Sungguh sayang sekali bila kita tidak mendapatkan janji Allah tersebut, sebab banyak sekali orang yang melakukan puasa , namun tidak mendapatkan janji itu. Mengapa demikian keadaanya ?. Semua itu taklain adalah disebabkan cara dan tujuan puasanya tidak cocok dengan apa yang digariskan syari’atkan islam.

Secara tidak sadar, bahwa banyak orang yang melakukan ibadah puasa hanya sekedar menahan makan dan minum disiang hari saja, sedang anggota badan lainnya masih bisa melakukan hal-hal yang menjurus kepada kemaksiatan. Mulut tidak henti-henti digunakan untuk membicarakan aib orang lain, memfitnah, mengadu domba, dan sebagainya. Tangan digunakan untuk mengambil orang, dan lain-lainnya. Dia melaksanakan puasa hanya sekedar mengikuti musim saja, yang sama sekali tidak mengharapkan untuk meningkatkan derajat ketaqwaannya kepada Allah SWT atau hanya karena malu melihat tetangganya puasa serta sekedar untuk pantes-pantesan saja.

Hendaknya kita ketahui bersama, bahwa orang yang beridul fitri tidak sama dengan orang yang berhari raya. Kalau sekedar hari raya, semua orang bisa mendapatkannya dan mengikutinya, walaupun di bulan ramadhan tidak menunaikan ibadah puasa. Dan kenyataannya memang banyak sekali orang yang hanya ikut berhari raya, bahkan persiapannya lebih lengkap dibanding dengan yang berpuasa. Rumahnya dihiasi dengan hiasan yang indah beraneka warna, minuman yang sedap dengan aneka cita rasa, ikut bersilaturrahmi, salaing berkunjung sesama kaum muslimin lainnya, bahkan dengan keluarga yang paling jauh sekalipun.

Orang yang beridul fitri bukanlah sekedar berhari raya seperti diatas, yang Cuma berpakaian baru dan lain senagainya. Akan tetapi pada hakikatnya orang yang beridul fitri adalah orang yang semakin bertambah taqwanya dan ketaatannya kepada Allah setelah melaksanakan ibadah puasa. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah qoul yang artinya ;

”Bukanlah Id itu milik orang yang berpakain baru, akan tetapi Id itu adalah milik orang yang ta’atnya dan taqwanya bertambah dan menjauhi meaksiat”.

Adapun ciri-ciri orang yang beridul fitri atau orang yang mendapatkan kemenangan selama menjalankan ibadah puasa sebagaimana yang dipaparkan dalam Al-Qur’an ;

”Sungguh beruntung orang membersihkan diri (dengan beriman) dan ingat nama Allah kemudian dia shalat.” ( QS.Al-’A’la ; 14 – 15 )

Menurut keterangan ayat diatas, maka ciri-ciri orang mendapatkan kemenangan atau benar-benar lulus ujian khususnya dibulan Ramadhan selama menunaikan ibadah puasa adalah;

  1. Selalu mensucikan diri dari segala bentuk kema’siatan, kejahatan, kedzalaiman, kesombongan, kemunafikan, kemunkaran, rakus harta kekayaan, dan sebagainya.
  2. Selalu melakukan dzikrullah, baik sesudah shalat maupun diluar waktu shalat. Karena dengan dzikrullah inilah akan menjadikan kita bersih dan tidak mudah terjerumus kedalam kesesatan.
  3. Selalumenegakkan shalat, terutama shalat wajib lima waktu, disamping melakukan shalat sunnat lainnya.

Tingkah laku inilah cermin dari sebuah kemenangan seseorang yang telah melakukan ibadah puasa atau benar-benar mendapatkan idul fitri atau kembali kepada kesucian. Bila tiga ciri ini benar-benar telah menyatu dalam setiap gerak langkah kita, berarti kita benar-benar mendapatkan Idul Fitri. Namun sebaliknya, bila dari tiga ciri diatas sama sekali belum melandasi tingkah laku kita, berarti ibadah puasa kita masih jauh dari tujuan yang kita harapkan dan jauh dari target yang dikehendaki dari perintah melaksanakan ibadah puasa, yakni menjadi Muttaqin.

Selain itu, masih ada yang lebih memprihatinkan, yaitu ada sebagian orang yang menjadikan ibadah puasa tersebut hanyalah sebagai gencatan senjata dengan syetan. Setelah hari rayatidak malah bertambah baik amal ibadahnya dan ahlaqnya, tapi malah kembali pada asalnyasebelum melakukan puasa, bahkan lebih buruk lagi. Ibadah puasanya tidak mendapatkan I’dul Fitri, tapi malah mengidap penyakit AIDS (Akibat Intim Dengan Syetan) hingga malah terus menerus berbuat maksiat kepada Allah. Menjadi orang yang lupa ibadah, lupa dzikrullah, dan lupa segala-galanya. Sebagaimana dijelaskan dalam Sabda Rasulullah SAW;

”Akan datang suatu zaman (dimana pada waktu itu ) orang sama-sama menyenangi lima perkara dan melupakan lima perkara lainnya, yaitu :

  1. Menyintai (sibuk urusan) dunia dan melupakan (tanggung jawabnya) di akherat.
  2. Menyintai keindahan dunia dan melupakan siksa kubur.
  3. Menyintai (rakus) harta kekayaan dan melupakan hisab.
  4. Menyintai keluarga dan melupakan bidadari (kenikmatan surga)
  5. Menyintai (menyumbar) hawa nafsu dan melupakan Allah (perintah-perinta Allah).

Mereka melepaskan dariku, Aku pun melepaskan tanggungjawab dari mereka semua.

Begitulah macam-macam tingkah laku orang yang tidak mendapatkan Idul Fitri dari Ibadah Puasa, hingga menjadi lupa segala-galanya. Sehingga akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya adalah selalu membawa, kerugian, kerusakan dan bencana. Itulah gambaran orang yang tidak dapat menahan hawa nafsunya, akibatnya akan mencelakakan dirinya sendiri dan membawa bencana bagi orang lain. Karena itu dengan ibadah puasa diharapkan dapat sedikit menekan hawa nafsu sehingga dapat menjadi orang yang bertaqwa yang dapat mengantarkan diri kepada hal-hal yang bermanfaat.

Dari gambaaran diatas, dapatlah dibayangkan betapa pentingnya usaha untuk menekan gejolak  hawa nafsu manusia, agar dapat dibina menjadi orang yang bertaqwa. Karena itu, untuk mencapai tujuan menjadi orang yang muttaqin itu, dengan melakukan ibadah puasa secara ikhlas dan mengharap rahmat Allah SWT. Maka dengan hidayah dan ma’unah Allah diharapkan bisa terwujud dan terlaksana tujuan semua itu, yaitu menjadi INSAN MUTTAQIN.

Inti dari bimbingan rohani dari ibadah puasa adalah menekan pada pengendalian dairi dari hawa nafsu, selain mencari nilai yambahdan pahaala. Selaama ibadah puasa, manusia dilatih mensucikan diri dari segala sifat tercela, menjauhkan diri dari ahlaqul madzmumah dan membiasakan diri berahlaqul karimah, sehingga setelah rampungibadah puasa ramadhan diharapkan kembali kepada fitrahnya, asal kejadiannya yang suci seperti pada saat lahir dari kandungan ibunya.

Bila nafsu sudah dapat dikendalikan dan hati menjadi bersih sert tingkah laku menjadi baik, maka aakan mudah mendapatkan predikan insan muttaqin. Dengan demikian puasa yang dilakukan selama ramadhan bisa berdayaguna dan berhasil guna dalam meraih derajat tinggi manusia, yaitu insan muttaqin. Manusia yang selalu melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi segala larangan-Nya.

Akhirnya marilah senantiasa berdoa kepada Allah SWT semoga puasa ramadhan dan amal-amal sholeh lainnya yang kita laksanakan selama sebulan penuhditerima oleh Allah SWT. Lebih dari itu, mudah-mudahan kita digolongkan oleh Allah menjadi orang yang mendapatkan Idul Fitri, menjadi orang yang kembali suci laksana saat kita dilahirkan, sehingga pada akhirnya kita akan diwisuda dengan predikat SARJANA MUTTAQIN. Amin…. Yaa Rabbal ’alamin.